Oleh: Naufal Robbiqis Dwi Asta
Feminisme
di Indonesia kerap menjadi topik yang menimbulkan perdebatan, baik di ranah
akademis maupun sosial. Gagasan ini seringkali menimbulkan pro dan kontra,
mengingat konteks budaya dan sosial yang beragam di berbagai wilayah. Sebagai
sebuah gerakan yang berupaya memperjuangkan kesetaraan gender, feminisme di
masa lalu bertujuan untuk membuka ruang bagi perempuan dalam pendidikan dan
kesempatan dalam ranah sosio-politik.
Namun,
seiring perkembangan zaman, banyak perubahan signifikan yang mengarah pada
meningkatnya peluang perempuan untuk terlibat di berbagai sektor. Meski
demikian, mengapa masih ada kesenjangan antara kesempatan yang terbuka dengan
penerimaan perempuan terhadap peluang-peluang tersebut? Ini adalah persoalan
kompleks yang sangat perlu untuk dikaji.
Secara
konseptual, feminisme adalah gerakan sosial, politik, dan ideologi yang
bertujuan untuk menghapus ketidakadilan dan ketidaksetaraan berbasis gender.
Feminisme memperjuangkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam hal
akses terhadap pendidikan, pekerjaan, hak-hak politik, serta kebebasan dari
diskriminasi. Di Indonesia, feminisme pertama kali muncul pada masa kolonial
ketika tokoh-tokoh seperti R.A. Kartini dan Dewi Sartika menyuarakan pentingnya
akses pendidikan bagi perempuan.
Gerakan
kesetaraan gender berlanjut hingga era modern dengan fokus yang semakin luas.
Saat ini, perjuangan mencakup hak-hak reproduksi, akses terhadap layanan
kesehatan yang aman, serta perlindungan dari kekerasan seksual. Selain itu,
representasi politik perempuan menjadi krusial, dengan upaya mendorong
keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Gerakan ini bertujuan untuk
meningkatkan hak-hak individu dan menciptakan lingkungan yang lebih terbuka
bagi seluruh masyarakat.
Kesetaraan
gender melibatkan pemberian hak yang sama dan memastikan perempuan memiliki
kemampuan untuk menggunakan hak tersebut tanpa hambatan sosial, budaya, dan
ekonomi. Di Indonesia, kesetaraan gender menjadi pilar utama untuk pembangunan
yang terbuka dan berkelanjutan. Akses setara terhadap pendidikan dan pekerjaan
bagi perempuan meningkatkan kesejahteraan individu serta berkontribusi pada
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial.
Namun
demikian, meskipun kesempatan terbuka lebar, realitas di lapangan sering kali
menunjukkan hasil yang berbeda. Banyak perempuan yang justru memilih kembali ke
peran-peran tradisional sebagai ibu rumah tangga atau mengambil profesi yang
dianggap “lebih feminin”. Kondisi ini bertentangan dengan semangat feminisme
awal yang berusaha memecah batasan-batasan peran gender. Mengapa hal ini
terjadi?
Salah
satu alasannya adalah norma sosial dan nilai-nilai budaya yang masih kuat
tertanam di banyak komunitas, yang menganggap bahwa perempuan idealnya berperan
sebagai pengasuh, istri, dan ibu. Walaupun perempuan modern memiliki hak untuk
bekerja dan berkarir, pilihan untuk mengikuti jalur tradisional seringkali
dilihat sebagai pilihan “aman” yang mendapat penerimaan sosial lebih luas.
Tidak
hanya itu, perempuan yang memilih untuk menempuh jalur karir seringkali
dihadapkan pada dilema antara tuntutan profesional dan tanggung jawab keluarga.
Meskipun hukum dan kebijakan telah memberikan hak yang setara, tekanan sosial
dan ekspektasi budaya masih menjadi kendala yang nyata.
Padahal,
saat ini perempuan memiliki lebih banyak kesempatan daripada sebelumnya.
Pemerintah dan berbagai organisasi non-pemerintah telah membuka akses
pendidikan yang lebih luas, beasiswa khusus untuk perempuan, serta program
pelatihan kewirausahaan bagi mereka yang ingin mandiri secara ekonomi. Di dunia
kerja, perusahaan-perusahaan mulai mengadopsi kebijakan inklusif, seperti cuti
melahirkan yang lebih lama, fleksibilitas kerja, hingga pembentukan komunitas
perempuan yang mendukung pengembangan karir.
Di
sektor pendidikan, data menunjukkan bahwa jumlah perempuan yang mengenyam
pendidikan tinggi telah meningkat secara signifikan. Banyak universitas ternama
yang menawarkan program beasiswa khusus bagi perempuan untuk bidang-bidang yang
sebelumnya didominasi laki-laki, seperti STEM (Science, Technology,
Engineering, and Mathematics). Di bidang politik, berbagai program
pelatihan kepemimpinan bagi perempuan juga sudah tersedia. Namun, mengapa angka
partisipasi perempuan masih belum seimbang?
Kesenjangan
ini menunjukkan bahwa permasalahannya bukan lagi pada kurangnya peluang,
melainkan pada hambatan internal dan eksternal yang dihadapi oleh perempuan.
Hambatan internal mencakup rendahnya kepercayaan diri, ketidakpercayaan pada
kemampuan diri, atau kurangnya aspirasi untuk mengejar posisi-posisi
kepemimpinan.
Sementara
itu, hambatan eksternal berupa stereotip gender, ekspektasi sosial, serta
kurangnya dukungan dari keluarga dan komunitas tetap menjadi tantangan
signifikan. Banyak perempuan memilih untuk tidak mengambil kesempatan yang ada
karena merasa lebih nyaman dengan identitas dan peran yang sesuai dengan norma
sosial yang berlaku. Hal ini menunjukkan bahwa perjuangan feminisme di era
modern berfokus pada membuka akses dan mengubah pola pikir, baik di kalangan
perempuan maupun masyarakat secara umum.
Dengan
banyaknya kesempatan yang terbuka, solusi yang perlu diupayakan adalah
pemberdayaan perempuan melalui pendekatan yang lebih strategis. Perempuan perlu
didorong untuk memanfaatkan peluang ini dan melihat bahwa terlibat dalam
ruang-ruang publik bukanlah ancaman bagi identitasnya sebagai perempuan,
melainkan sebagai perluasan pilihan. Pendidikan kesetaraan gender harus lebih
menekankan pentingnya kebebasan memilih, tanpa merasa terikat pada satu norma
tertentu.
Sosialisasi
tentang keberhasilan perempuan yang mampu menyeimbangkan peran ganda sebagai
ibu dan profesional juga perlu ditingkatkan, sehingga perempuan memiliki role
model yang nyata. Dengan segala perkembangan yang ada, feminisme di Indonesia
tetap relevan, terutama di daerah-daerah yang masih sangat terikat pada
norma-norma tradisional yang kuat.
Namun
terdapat persoalan dilematis yang lebih serius, di mana perempuan menghadapi
kontradiksi antara memanfaatkan peluang yang ada dan tekanan untuk menyesuaikan
diri dengan standar sosial yang masih mendikte peran-peran tertentu. Kondisi
ini menempatkan feminisme dalam situasi yang kompleks, karena di satu sisi
kebebasan tampak lebih luas, tetapi di sisi lain, pilihan perempuan masih kerap
dipengaruhi oleh norma-norma budaya yang belum sepenuhnya berubah.
Standar
sosial ini dapat muncul dari berbagai sumber, termasuk media sosial, yang
sering kali memperkuat representasi ideal tentang perempuan. Meskipun
memberikan platform untuk ekspresi diri, media sosial juga menampilkan citra
yang sesuai dengan norma-norma budaya yang ada. Akibatnya, perempuan tertekan
untuk memenuhi ekspektasi publik terkait penampilan dan perilaku, yang
menciptakan ambivalensi.
Alih-alih
hanya berfokus pada penciptaan kesempatan, tantangan feminisme di Indonesia
saat ini adalah bagaimana memperjuangkan hak perempuan untuk menentukan jalur
hidupnya secara bebas dari konstruksi sosial yang membatasi. Persoalannya bukan
lagi sekadar membuka akses atau memperluas ruang gerak, melainkan memastikan
bahwa keputusan yang diambil perempuan benar-benar didasari oleh keinginan
pribadi, bukan karena kepatuhan pada ekspektasi yang diwariskan.
Dalam
situasi yang seperti ini, feminisme menjadi sebuah upaya untuk mengembalikan
makna kebebasan yang otentik bagi perempuan. Maka, apakah perempuan benar-benar
memiliki kebebasan penuh untuk memilih peran mereka? Ataukah, kebebasan yang
tampak ini hanya menyamarkan belenggu-belenggu tak kasat mata yang tetap
membatasi mereka? Ini adalah pertanyaan yang perlu terus dikaji ketika menilai
relevansi feminisme di Indonesia saat ini.