Makkah: Los Angeles Berbungkus Ibadah


Oleh: Abdul Aziz Ali Fikri

Setiap pelaksanaan ibadah haji, Makkah mendadak menjadi kota terpadat di dunia. Mobilitas sosial yang tinggi membuat kota ini terasa padat. Saking padatnya, Yassir ad-Dossari (21-06-2024) memberikan maklumat dalam khotbah Jumat-nya. Atas nama pengurus Masjidil Haram, pelaksanaan salat jamaah dan Jumat akan dipersingkat dengan pertimbangan kepadatan dan kondisi cuaca. Sementara itu, fatwa-fatwa bertebaran untuk memaksimalkan jamaah di masjid, hotel, atau sekitarnya, mengikuti pendapat Ibnu Abbas.

Tapi kita tidak akan berbicara tentang fenomena kepadatan itu. Tidak juga akan membahas bagaimana praktik dan hikmah dari rukun ibadah haji. Tidak juga menarasikan ulang sejarah dan bukti peninggalan peradaban. Menghindari klise, ada "sisi lain" yang jarang dibicarakan oleh banyak orang dari ibadah haji. Fenomena prestise uang yang sangat mungkin jarang diketahui. Barangkali itu terjadi karena jauhnya simbol keduniawian dan lekatnya simbol kesucian di tanah haram ini.

Sejak awal perjalanan menuju tanah suci, kita akan disuguhkan dengan nominal harga yang fantastis. Mafhum nominal tersebut cukup untuk merogoh kocek lebih dalam dan membuka tabungan dari sekian bulan, bahkan tahun. Berbagai macam jalur yang ditempuh, baik dari pemerintah maupun swasta, baik yang resmi maupun yang non-resmi, semuanya saling menunjukkan uang yang harus dipenuhi. Atas dasar uang juga, berbagai macam fasilitas dan kondisi hidup selama di Makkah ditentukan dengan harga.

Cukup sampai disitu? Tentu tidak. Setelah memasuki wilayah tanah suci, banyak sekali kita temukan berbagai macam toko dan restoran. Berbagai macam keperluan dijual dengan harga yang sedikit mahal. Segala keperluan, baik sandang maupun pangan tersedia lengkap, tinggal menunggu giliran untuk dipinang. Memasuki daerah lebih elit, depan Masjidil Haram terdapat tulisan "Waqaf al-Malik Abdul Aziz". Kita sering mengenalnya dengan daerah hotel tower Zam-Zam. Di dalamnya, sebelum memasuki lift menuju jajaran hotel bintang lima, terdapat mal yang menampung brand-brand internasional seperti Guci, LV, Rolex, Richard Milles, NB, Nike, Adidas, Balenciaga, Dior, Hermes, Chanel. Semua tak tertinggal menghiasi wajah mal tersebut.

Geser sedikit, ada wilayah Jabal Omar dengan jajaran dan nuansa hotel berbintang lima. Meski tidak seramai daerah tower Zam-Zam seperti yang telah disebutkan, namun persamaan brand dan produk yang ditawarkan tidak jauh berbeda. Dari Jabal Omar menuju daerah Misfalah, banyak sekali toko-toko maupun restoran yang bisa dibilang cukup ramah di kantong banyak orang. Saking banyaknya toko, juga bisa didapati ada baqolah-baqolah emperan yang begitu sering dikenal, toko beratap awan, tentu tanpa ada surat izin dan sering hilang jika ada petugas dari keamanan bergerak. Satu hal menarik dari toko ini, karena tidak ada biaya pajak, mereka berani menjual barang jauh lebih murah daripada yang terafiliasi dengan toko-toko resmi.

Daerah lain? Tentu banyak. Melangkah jauh dari Masjidil Haram terdapat mega proyek dari kerajaan. Sepetak tanah yang begitu luas di kotak-kotakkan. Terpampang jelas rancangan proyek tersebut dengan bangunan ala kota-kota modern Amerika. Gemerlap duniawi, pusat perbelanjaan, dan taman hiburan dipamerkan. Jika kita mengetahui megaproyek kota Neon Saudi, barangkali replika yang ditawarkan ada dalam proyek sepetak tanah luas ini. Bak kota Los Angeles Amerika yang penuh glamor dan kemewahan, Makkah rasanya hampir sama dibuatnya. Meski hal yang bisa dipastikan, di sini tidak akan pernah ada praktik-praktik agama yang menyimpang secara legal.

Saya sendiri pernah menjadi saksi bagaimana uang begitu ikonik di Kota Makkah. Suatu ketika, saya mendapati seorang muhrim (orang yang berihram) memasuki toko jam Rolex. Di tengah-tengah pakaian ihramnya, ia menggunakan jam Rolex dan rupanya hendak membeli koleksi Rolex terbarunya. Semoga dugaan saya salah. Apa yang dilakukan orang tersebut, sebab sangat kontras dengan hikmah ihram sendiri yang jauh dari urusan keduniawian. Barangkali ia telah menyelesaikan ihramnya, kemudian ia melakukan transaksi di dalam toko tersebut.

Kilas hubungan Makkah dengan uang sebenarnya dapat dilacak dari perjalanan peradaban. Hitti menyebut dalam Capital City of Islam, sejak dahulu Makkah menjadi pemberhentian para musafir yang hendak menuju Laut Mediterania. Daya tarik Zam-Zam sebagai sumber kehidupan, letak geografis Makkah yang berada di jalur dupa, jalur di mana para pedagang membawa dupa menuju Eropa atau ke Asia, Makkah menjadi salah satu destinasi perdagangan internasional. Hampir sama dengan Hitti, Karen Armstrong menambahkan dalam History of God, sebagai salah satu fenomena yang telah tercampur dengan tradisi nenek moyang bangsa Arab Makkah. Jawaban atas perpindahan status peradaban nomaden menjadi peradaban sedenter. Musabab menjadi landasan fundamental bagi para penduduk Makkah, mengapa mereka pandai berbisnis di samping urusan peribadatan tanah suci itu sendiri.

Dalam literatur Islam sendiri, ada salah satu karya yang mengulas bagaimana perilaku "mata duitan" orang Arab. Ditulis oleh Ibnu Jubair dalam rihlah perjalanannya, berjudul Tadzkirah bil Akhbar ‘an Ittifaq al-Asfar (Pengingat Cerita Tentang Perjalanan) di masa kemudian lebih dikenal dengan nama Rihlah Ibn Jubair (Kisah Perjalanan Ibnu Jubair), merupakan karya yang bernilai tinggi. Angel Gonzales Palencia (w. 1949) dalam karyanya berjudul Historia de la Literatura Arábigo-Española dalam terjemah edisi Arab dikenal Tarikh al-Fikr Al-Andalus memuji catatan perjalanan Ibnu Jubair ini. Diksi yang baik, sastra yang bagus, serta alur cerita yang unik dan representatif berhasil mendatangkan cita rasa sastra yang bernilai tinggi ketika membaca, menjadi perhatian orientalis satu ini. Mari kita lihat bagaimana Ibnu Jubair menulis kekesalannya terhadap perilaku mata duitan orang Arab ini.

"Berdasarkan data dan pengalaman, saya berani mengatakan tidak ada Islam kecuali di daerah Maghrib, dikarenakan daerah Maghrib berislam secara sungguh tidak ada embel-embel duniawi. Sementara umat Islam di belahan lainnya, di negeri timur, mereka penuh dengan hawa nafsu, kecuali orang-orang yang memang dijaga Allah Swt."

"Tidak didapati sebuah keadilan kebenaran dari perilaku orang yang tidak beragama kecuali dinasti Muwahidun, mereka adalah akhir dari pemimpin yang adil di masanya selain mereka memimpin umat Islam memperlakukan pajak sepersepuluh bagi pedagang Muslim sebagaimana perlakuan mereka terhadap ahli zina dengan cara apapun mereka melipat ganda dan menimbun kekayaan kerjakan ini penuh dengan kezaliman."

"Pada hari itu kami meninggalkan Jeddah setelah para jamaah haji menyiapkan segala kebutuhan. Kami meninggalkan Jeddah di bawah kepemimpinan Ali bin Muwafiq. Ia kemudian menyerahkan urusan jamaah haji pada pemimpin Makkah, Muktsir bin Isa, seorang Sayyid dari keturunan Hasan bin Ali. Sayangnya, ia tidak berperilaku baik seperti leluhurnya yang mulia."

Secara eksplisit, hal ini menunjukkan bahwa kota yang terletak pada jantung ibadah umat Islam justru sangat kental dengan nuansa keduniawian. Di sini, para tamu tinggal memilih fokus urusan duniawi atau fokus pada tujuan berhaji ke tanah suci. Tentu saja, meski beribadah di kota suci, nyatanya tidak akan pernah luput dari godaan keimanan. Tinggal memilih porsi, manakah tujuannya: Tuhan atau uang? Sebagai kota suci, Makkah siap menghantarkan.

*Masjidil Haram: 12.03

Menunggu khotbah Jumat tanggal 22 Dzulhijjah 1445 H, 28 Juni 2024
Previous Post Next Post

Contact Form