Pohon Sesawi dan Biji Dzarrah: Pesan Religius dari Novel, Injil, dan Al-Qur'an


Oleh: Fahmi Ayatullah

Al-Masih mengibaratkan Kerajaan Surga bagai benih pohon sesawi, sebagaimana tertuang dalam firman Tuhan dalam Alkitab Injil Matius 13: 31-32. “Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: Hal Kerajaan Surga itu seumpama biji sesawi yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya”. “Benih pohon sesawi itu unik. Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar daripada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara bersarang pada cabang-cabangnya.”

Perumpamaan tersebut merupakan salah satu pengajaran Yesus bahwa hal-hal yang mungkin tampak kecil atau tidak signifikan di mata manusia dapat memiliki dampak yang besar dan luar biasa ketika berada dalam rencana dan kehendak Tuhan. Kerajaan Allah dimulai dengan cara yang tampaknya sederhana dan kecil, tetapi memiliki potensi untuk tumbuh menjadi sesuatu yang besar dan kuat, memberikan pengaruh dan perlindungan kepada banyak orang.

Dugaan saya dalam Al-Qur’an disebut dzarrah. Al-Qur'an menjelaskan dalam surat Al-Zalzalah ayat 7 berbunyi: Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Baik dzarrah dalam Al-Qur'an maupun biji sesawi dalam Alkitab digunakan untuk mengilustrasikan bahwa hal-hal kecil tidak boleh diabaikan atau diremehkan. Keduanya mengajarkan bahwa sekecil apapun sesuatu, baik itu perbuatan atau awal mula yang sederhana, dapat memiliki signifikansi besar dalam konteks spiritual dan moral.

Pohon sesawi memiliki sifat yang indah yang digambarkan dalam novel mendiang Alm. Romo Mangunwijaya, seorang romo yang saleh dengan banyak menyerahkan hidup pengabdiannya pada kemanusiaan. Kerajaan Surga di muka bumi, dibuktikan dengan sikap lembut orang yang beriman. Mendiang Romo Mangunwijaya kerap kali menata hidupnya dalam segenap usia, menerima keutuhan-integral manusia dalam hidupnya. Bagai menggembalakan domba dan merawat setiap tidak-terdugaan dari sifat para domba-domba itu. Sebagai pengembalaan yang diwariskan manusia-manusia pilihan Tuhan seperti Ibrahim sang pembangun Bayt, dan juga merupakan warisan Isa Al-Masih, hingga Sang Rasul Muhammad.

Dalam novel terakhirnya yang berjudul Pohon-Pohon Sesawi yang disunting Joko Pinurbo. Romo Mangun mengandaikan kaum beriman sebagai pohon. Pasalnya, keimanan dan perbuatan baik sekecil apapun, bahkan sekilas niat yang sering luput dari ingatan seseorang, akan selalu mendapat manfaat kebaikan yang amat besar, meleburkan dosa manusia yang besar sebagai bukti kasih sayang-Nya. Pesan Romo dalam novelnya itu hendak menyampaikan isyarat pesan bahwa tidak ada keterlambatan untuk mengabdi kepada-Nya untuk membangun ketulusan penerimaan hati dan menghargai sesama serta mencintai setiap orang dalam kedamaian. 

Serangkaian kisah dalam novelnya yang memukai hati seakan mengajak untuk membelai kasih, menghibur segala kegundahan, merebut kekakuan hati; menghaluskannya dengan pelan dan mengajaknya bersenda gurau. Di mana persoalan keagamaan dipandang wajar dan manusiawi.

Tersebutlah dalam novelnya kisah seorang imam bernama Romo Yunus. Romo pengasih ini penuh teladan arifnya perilaku Isa Al-Masih yang sangat menghargai dan mencintai setiap orang, bahkan ia persembahkan tubuh dan darahnya untuk orang lain. Dengan riang dan mengalir, Romo Mangun mengisahkan Nabi Yunus yang ditelan ikan. Romo Yunus dalam novel ini pun dihadapkan pada perilaku jamaatnya yang unik dan tak terduga.

Seorang wanita tomboi yang selalu membantu kegiatan gereja. Seorang Frater muda seringkali jengkel pada tingkah wanita tomboi bernama Lusi itu. Tapi, manusia memang tak terduga. Sang Frater mengundurkan diri dari gereja dan melamar Lusi. Keduanya telah saling jatuh cinta.

Banyak orang memarahi Lusi, karena dianggap sudah “merebut kepunyaan Tuhan”. Dengan tenang Lusi menjawab bahwa dirinya tidak dihantam petir dari langit, itu bukti Tuhan setuju kepunyaan-Nya dirampas dengan cinta. Romo Yunus tidak marah kepada Lusi dan Sang Frater muda. Ia merestui, bahkan mendukung hubungan Sang Frater dan Lusi, gadis tomboi yang baik hati. Romo Yunus hanya berpesan, agar keduanya menjaga kesucian masing-masing sampai ke pernikahan. “Jangan zina!” ujar romo Yunus. Tak terduga, Romo Mangun menulis pengaduan Lusi, bahwa Sang Frater sering “gak kuat” sampai megap-megap menahan nafsunya.

Untaian kisah yang menarik ini, segera menyingkirkan kegentingan, menjadi cair. Kelemahan manusia membuatnya unik dan wajar, tetapi iman akan tetap membatasi penyimpangan. Ia kokoh dalam jiwa, seberat apa pun godaan itu. Kesabaran yang bersemi dalam kasih; pohon kokoh berdaun rindang, serta cecabangnya dijadikan sarang burung-burung. Bagai pohon sesawi. Sekecil apa pun iman dan cinta, jika ia dijaga kerendahan hati yang tulus, menyemikan daun-daun kesabaran, kokoh menaungi hidup orang beriman, menerima segala kesempurnaan dan kelemahannya yang tak terduga, integral dalam hidup seseorang. Hanya dengan demikianlah, penyelamatan itu diselenggarakan.

Dan segala kejahatan, hati yang keras, amarah, dan menguasai orang tercinta dalam penindasan akan melahirkan celaka. Kasih dan kesabaran hangus terbakar. Ia perlu dipadamkan dalam telaga cinta, ketulusan yang rendah hati. Inilah yang dibela Isa Al-Masih sepanjang hidupnya.

Dalam QS. Ali Imran: 133-134, Allah bersabda: “Ialah orang-orang yang menafkahkan (berbagi) hartanya di waktu lapang dan di waktu sempit, dan yang menahan marah dan yang memaafkan manusia. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik. Ayat tersebut memberikan panduan tentang pentingnya berbuat baik dalam segala keadaan dan menahan diri dari perbuatan buruk. Ini sejalan dengan konsep dzarrah dan biji sesawi yang menekankan pentingnya tindakan kecil dalam keseluruhan konteks keimanan dan ketaqwaan. Setiap perbuatan baik, sekecil apapun, akan diperhitungkan dan memiliki potensi untuk memberikan dampak besar dan positif, baik di dunia maupun di akhirat.

Beranjak dari dua teks di atas, mengajarkan kita tentang kekuatan luar biasa dari hal-hal kecil. Dari Alkitab, kita belajar dari perumpamaan biji sesawi, yang kecil tapi bisa tumbuh jadi pohon besar. Dari Al-Qur’an, kita punya konsep dzarrah, partikel kecil yang nggak bakal luput dari perhitungan Allah. Keduanya sepakat: jangan pernah remehkan hal kecil, karena seenggaknya dari hal kecil tersebut bikin Tuhan senyam-senyum.

Ada agama dan keberagamaan. Bagi Romo Mangun, beragama hanya identitas sosial, tak memastikan kebaikan seseorang. Ada yang beragama dengan perilaku jahat dan tinggi hati. Keberagamaan tak diikat pada apa pun jenis agama, ia menampilkan dan menjalani dengan baik perilaku mulia kemanusiaan menurut esensi ajaran agama yang diyakininya. Terlalu banyak orang beragama, tapi tak meneladani keluhuran Tuhan yang diwarisi para utusan. Agama dan aturan-aturannya dipaksakan tanpa mengarifi kemanusiaan, lalu dimutlakkan, dan disembah. Bukan dalam tulisan ini hendak Romo Mangun menegaskan bahwa “Banyak yang beragama, tetapi tak menyembah Tuhan.” Wallahu A‘lam Bisshawab.
Previous Post Next Post

Contact Form