Jejak Rindu Dalam Kelinglungan


Oleh: Fahmi Ayatullah

Manusia mana yang mau mengusaikan rindu, saat rindu telah hilang dan pergi dalam waktu. Ia akan selalu menyiasati untuk mengadakan pertemuan demi melepas rindu, begitulah kata penyair, yang ku temui di pelataran fakultas kampus. Lantas buat apa pertemuan, jika dengannya akan membunuh rindu? bukannya rindu harus selalu ada, agar manusia menemukan dirinya di tengah ketakberdayaan, serta menemukan keganjilan dalam kehilangannya yang telah lampau dan berlalu, manusia akan selalu hidup dengan ingatan. Tanpa ingatan mungkinkah kehidupan terjadi?

Barangkali bagi Thomas Beckett, manusia hanya belaka absurditas dan tidak akan usai untuk dipecahkan. Syahdan, suatu hari, orang-orang datang, kemudian pergi lagi, begitulah pertemuan terjadi dan diakhiri perpisahan. Dan hati pun terluka. Kenapa harus ada pertemuan jika harus ada perpisahan, tanya sebuah lagu. Orang pun heran kenapa harus ada saja yang selalu datang dengan segenap persoalan, begitulah dunia yang tak kunjung surut dengan segala persoalan, baik soal cinta, seks, negara bahkan perang. Lalu buat apa Tuhan menciptakan semua ini, jika semua harus binasa, rusak, hilang. Apakah Ia (Tuhan) membiarkan keganjilan serta kematian-kematian yang tidak bisa dihindarkan. Barangkali, Tuhan hendak menjawab dengan cuek sambil berlalu, “Itu urusanmu sendiri.”

Ingatan bagai menubuhkan bentuk ke dalam intuisi dan waham/imajinasi. Gerangan para sastrawan memandang dunia dengan intuisi. Bagi Abū Bakr Ibn ‘Arabī, dari intuisi inilah manusia meraba dunia dengan tubuhnya. Tubuh yang dihuni sukma kalau kata agama ruh atau esensi. Dengan itu, manusia menyelenggarakan perjumpaan dengan kesempurnaannya sebagai manusia. Sebab dengan kebertubuhannya itulah yang membedakan dan tak sama dengan hewan, tumbuhan, jin, malaikat, iblis. Dengan kesempurnaan (al-kāmil) itulah manusia menemukan kebenaran.

Demi apa yang kita sebut kebahagiaan. Kemudian kita menyadari kelemahan di balik kesempurnaan itu, dan memahami bahwa kebahagiaan dibangun dari pengalaman penderitaan. Peristiwa ini, terus-menerus terjadi serupa di dalam denyut jantung. Namun, sering kali kita tak sadar bahwa ada dua hal yang berdetak tanpa henti dalam hidup. Hingga akhirnya, terjebak dalam penderitaan yang tak berujung, ujar Buddha. Atau terpenjara dalam kebahagiaan yang menyesatkan dari kenyataan dunia. Jika tanpa penderitaan tak ada kebahagiaan, maka kebenaran sesungguhnya dicapai dengan kearifan. Dalam bahasa Arab bunyinya begini, ‘arafa-ya‘rifu-‘irfatan-ma‘rifatan, yang mengandung arti pengenalan, mengenali, pengertian tertinggi yang membumi, menafsirkan kemuskilan ke dalam kenyataan hidup sehari-hari. Dan hanya manusia yang mempunyai pengertian itu, lalu mengkhidmatkan pengertian-pengertian bagi sesama dan mengarifi di segala ruang-waktu yang dialaminya.

Hingga akhirnya kesendirian harus bermuara pada kesejatian. Kesejatian itu -bagi yang beriman, hanyalah Tuhan. Saat nama Tuhan disebut, serta-merta segala nama luhur-Nya niscaya utuh, segalanya terdiri dari sifat dan nama-Nya. Dia yang tak terjangkau (Ahad). Namun, manusia mengarifi sifat dan nama-Nya, sebagai kenyataan alamiah atau fitrah untuk meraih kesejatian hidupnya.

Bagi Ibnu ‘Arabī, meng-“ada”-kan khayal (hadirat khayal), merupakan hadirat yang menghimpun dan mencakup segala sesuatu dan yang bukan sesuatu. Tidak ada dalam wujud selain Tuhan, segalanya walaupun ada (maujud), keberadaannya hanyalah dengan-Nya. Maka apa pun yang keberadaannya dengan selain-Nya, berada dalam hukum ketiadaan. Ketiadaan yang tanpa eksistensi sejati. Dari bentuk, dan mestilah berenang menuju esensi. Nabi Ibrahim mengajarkan esensi segala sesuatu atau substansi tiap peristiwa, sehingga bentuk yang tidak disembah atau dimutlakkan merupakan bentuk yang musnah.

Dan kita pun berpikir habis-habisan tentang Tuhan. Dia tak pernah tertangkap dengan segala kesempurnaan manusia, tetapi barangkali Tuhan juga tertangkap dalam segala pengandaian atau keyakinan yang meniscayakan keanekaragaman. Orang Yahudi punya pepatah, sebagaimana dikutip Milan Kundera, “Manusia berpikir, sedang Tuhan pun tertawa.” Karena saat manusia berpikir serius, Ia (Tuhan) tak sanggup keluar dari kepalanya.

Lalu mau dibawa ke mana rindu ini? Seorang perindu yang gelisah bertanya-tanya. Katanya, pohon cinta tak akan tumbuh di atas hati yang keras membatu. Tapi pohon cinta itu pun akan layu dan mati, jika tumbuh di atas hati yang becek karena air mata. Di atas kerapuhan, segala yang kuat dan kokoh seharusnya ditegakkan. Tapi di atas kekokohan, yang rapuh perlu diwujudkan. Bagaimana bisa tiba ke senyumanmu yang larut, jika sepanjang jalan hanya air mata?

Namun, bagaimana mungkin sampai ke lubuk hati yang tenteram, jika sepanjang jalan hanyalah kekeringan tanpa hikmat tangisan. Agar di tepi lautan penderitaan, perahu dapat didayung, terbenam jauh di pedalaman rindu. Agar malam dihikmati kelembutan, bukan gairah untuk menghanguskan. Tapi apakah untuk tiba pada kedamaian -sebagaimana dikatakan dalam film John Wick, “Engkau harus bersiap untuk berperang habis-habisan?”

Apakah pengertian terhadap kerinduan yang tak pernah selesai ditemukan bentuknya, dapat menundukkan dendam, sehingga segala sengketa di dunia dapat diselesaikan? Sanggupkah dunia menyelenggarakan kasih sayang Tuhan agar segala perang dengan bentuknya dapat dicegah atau dihentikan, dan segala penguasaan dan ketakutan bisa dipadamkan. Manusia memang takut gagal dan bangkrut, sehingga harus merampas dan menipu.

Betapa rapuhnya ingatan, sehingga kita harus mengabadikan jejak rindu pada prasasti, penanda-penanda waktu dan peristiwa, dinding, bangunan, kekuasaan, dan pencapaian tertinggi yang tak boleh ditandingi. Ribuan tahun atau mungkin setelah dihantam keganasan alam kita tahu, jejak-jejak itu menjadi samar berdebu. Jadi narasi kesepian ini, dari masa ke masa, hanya untukmu kekasih. Sesuatu yang semakin hari semakin susah sekali untuk sekadar dikenali dan kita pun pangling pada diri sendiri. Dari segalanya itu, yang tersisa hanya dongeng perihal kejayaan dan kegagahan yang tidak ada lagi kebanggaan-kebanggaan gombal. Sebab, yang tersisa hanya dalam romantisme cengeng yang memuakkan, tak lagi bernyawa, dan keluh di dalam bisu. Sanggupkah kita, dengan meraih segala puncaknya, memunguti nilai-nilai yang berantakan oleh kehendak-kehendak yang tak menjejak? Orang pun tak habis mengerti, kenapa tak bisa mewujudkan diri sebagaimana dalam sajak Chairil Anwar, agar bisa hidup seribu tahun lagi. Pertanyaan-pertanyaan pun terjerembab dalam kompetisi ekonomi yang tak mengenali derita dan nasib yang kalah dan dilemahkan.

Sedang Tuhan dan agama cuma omong kosong, menjadi dongeng usang yang tak pernah menyelesaikan lambung kelaparan. Dan jejak kerinduan, makin hilang dan kelam. Wallahu A‘lam Bisshawab.
Previous Post Next Post

Contact Form