Oleh: Ahmad Fariza Abdullah *
Sebuah kebiasaan yang sering tak
kita sadari adalah suka membolak-balikkan susunan kata saat berbicara. Secara
tidak langsung itu terjadi begitu saja tanpa adanya unsur kesengajaan. Meski juga
tak menutup kemungkinan kesengajaan itu terjadi di lain cerita. Contohnya
percakapan berikut yang terjadi antara Udin dan Mamad:
“Lagi apa kau, Mad?” tanya Udin.
“Baca Al-Qur’an aku, Din.” jawab Mamad.
Kata yang berlabel “subjek/pelaku”
yang seharusnya di depan, terletak di belakang dalam kasus ini. Malahan “predikat/pekerjaan”
yang terletak di awal kalimat, diikuti dengan penyebutan “objek” setelahnya. Sekilas
jika kita lihat memang pesan yang disampaikan sama, baik itu subjeknya di depan
ataupun di belakang. Namun ternyata setelah kita renungkan, ada arti khusus di
balik terbaliknya kata-kata itu.
Arti khusus yang dimaksud itu berupa
penekanan. Di mana yang ditekankan di sini adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
“subjek”. Lontaran pertanyaan dari Udin kepada Mamad yang berupa penekanan,
sontak dijawab pula dengan penekanan. Sehingga terbaliknya susunan kata itu juga
bisa memengaruhi penekanan makna dalam suatu kalimat.
Kebiasaan “membalik susunan kata”
yang kita alami ternyata terjadi pula dalam Al-Qur’an. Di sebagian ayat Al-Qur’an
ada susunan kata yang berkesan terbalik tak seperti pada kaidah umumnya. Lalu,
apakah itu yang namanya Al-Qur’an terbalik?
Al-Qur’an Terbalik?
“Orang yang belum tahu Al-Qur’an
terbalik berarti belum mendalami Al-Qur’an,” dawuh KH. Maimun Zubair, tulis
Lora Muhammad Ismail Al-Ascholy dalam akun Instagramnya @ismailascholy. Penggunaan
istilah “Al-Qur’an Terbalik”, lanjut Lora Ismail, hanya sekadar memudahkan
untuk mengingat saja. Karena sebenarnya istilah itu aslinya bernama taqdīm-ta’khīr
(mendahulukan-mengakhirkan).
Taqdīm-ta’khīr sendiri, terang Quraish Shihab
dalam Kaidah Tafsir, merupakan
kondisi tak lazim di mana susunan kata dalam ayat Al-Qur’an berkesan terbalik.
Keterbalikan itu serta-merta terjadi bukan tanpa alasan. Ada maksud yang ingin
dicapai dari keterbalikan itu, antara lain pengkhususan makna, penekanan,
menghindari kesalahpahaman, hingga menghendaki keindahan nada. Contohnya dalam
surah Al-Baqarah ayat 108:
وَمَنْ يَّتَبَدَّلِ الْكُفْرَ بِالْاِيْمَانِ فَقَدْ ضَلَّ سَوَاۤءَ السَّبِيْلِ
"Barangsiapa mengganti iman dengan kekafiran, maka sungguh, dia telah tersesat dari jalan yang lurus"
Kata kufur dan iman dalam ayat di
atas tampak berkesan terbalik. Karena sekilas kalau diartikan secara urut per
kata maka akan berbunyi, “Barang siapa yang mengganti kekufuran dengan keimanan,
maka ia tersesat.” Bukankah mengganti keimanan dengan kekufuran yang tersesat? Mari
kita renungkan lebih lanjut keterbalikan ini.
Keterbalikan itu, jelas Abū Ḥayyān
dalam al-Baḥr al-Muḥīṭ,
memiliki faedah kinayah (sindiran) yang dimaksudkan untuk menggambarkan
kondisi berpaling (log out) dari keimanan dan menuju (log in)
kepada kekufuran. Abū Ḥayyān juga menambahkan bahwa makna ayat di atas
sebenarnya adalah barang siapa yang mengambil kekufuran sebagai gantinya iman
maka sungguh ia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Dari sini dapat kita pahami,
ternyata ada teknik khusus untuk memahami ayat yang berkesan “terbalik”. Teknik
itu berupa telaah kebahasaan (gramatika bahasa Arab). Dengan mengetahui seluk-beluk
bahasa kita tidak akan terjerumus dalam pemahaman yang sesat. Seperti kata
pepatah, “Barang siapa yang mengerti bahasa, maka ia tak akan tersesat di
jalan.”
Memahami Al-Qur’an Secara Terbalik
Seperti yang kita tahu bahwa
memahami Al-Qur’an dari depan ke belakang adalah hal yang mainstream
(biasa dilakukan). Sehingga kali ini kita akan mencoba memahami Al-Qur’an yang
anti-mainstream (tidak biasa), yakni dari belakang ke depan (terbalik). Tentunya
hal ini tak lepas dari ide brilian seorang Lora Ismail al-Ascholy. Namun, Lora
mengatakan bahwa memahami Al-Qur’an dengan metode terbalik hanya sebatas
berasyik-asyik dengan Al-Qur’an, bukan metode utama.
Berbicara soal berasyik-asyik dengan
Al-Qur’an, mari kita coba memahami surah al-Falaq dengan metode terbalik. Kita
mulai dengan urutan ayat 5-4-3-2-1.
(5) Dan dari kejahatan orang yang
dengki apabila dia dengki
(4) Dan dari kejahatan (perempuan-perempuan)
penyihir yang meniup pada buhul-buhul (talinya)
(3) Dan dari kejahatan malam apabila
telah gelap gulita
(2) Dari kejahatan (makhluk yang)
Dia (Allah) ciptakan
(1) Katakanlah, aku berlindung
kepada Tuhan yang menguasai subuh (fajar)
Dari surah di atas, dapat kita pahami
bahwa kejahatan sihir kronologinya berawal dari rasa dengki terhadap orang
lain. Orang yang dengki akan pergi ke “Mbah Dukun” untuk meminta bantuan
melampiaskan kedengkiannya. Si Mbah melakukan sihir dengan media buhul yang
dimulainya saat malam tiba. Sewaktu melakukan sihir, si Mbah dibantu oleh jin
perewangan (khodam). Kejahatan sihir itu berlangsung hingga terbit fajar dan
akhirnya pun sirna.
Berkat metode terbalik, sekarang
kita tahu ternyata kejahatan sihir (atau yang lain) berangkat dari rasa dengki
yang memuncak. Orang yang dengki cenderung buta mata dan buta hati. Ia akan
melakukan segala cara untuk melampiaskan kebencian dan amarahnya. Seperti kata
pepatah, “Cinta ditolak, dukun bertindak.”
Bagaimana? Menarik bukan memahami
Al-Qur’an secara terbalik? Memang Al-Qur’an seasyik itu. Mau dipahami secara
lurus maupun terbalik, Al-Qur’an tetap asyik. Itulah salah satu bentuk dari
kemukjizatan Al-Qur’an yang agung nan mulia.
Akhirnya, “Al-Qur’an Terbalik”
adalah istilah yang diperuntukkan dalam memudahkan pemahaman kaidah taqdīm-ta’khīr.
Sedangkan memahami Al-Qur’an dengan metode terbalik merupakan salah satu cara
kita untuk berasyik-asyik dengan Al-Qur’an. Semoga Allah menunjukkan kita ke
jalan yang lurus. Wallahu waliyyuna.
* Ahmad Fariza Abdullah, Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya.