Oleh: Ahmad Fariza Abdullah
“Rahim kehidupan”, sebuah gelar yang
tersemat dalam diri seorang perempuan. Kalau kata Al-Qur’an, perempuan ibarat
sawah atau ladang (QS. al-Baqarah [2]: 223). Yakni, tempat penghasil berbagai
macam produk (pangan), baik itu berkualitas unggul maupun rendah.
Ladang memiliki peran yang cukup
penting dalam pertanian. Ladang yang baik akan berpotensi menghasilkan panen
yang baik, sedangkan ladang yang buruk akan menghasilkan panen yang buruk pula.
Demikian pun hal ini berlaku pada perempuan yang diibaratkan layaknya sebuah
ladang. Oleh sebab itu, perempuan mempunyai peran yang sangat menentukan. Lalu,
bagaimana isyarat Al-Qur’an soal peran perempuan?
Isyarat Al-Qur’an Tentang Peran
Perempuan
Allah memberikan isyarat soal peran
perempuan dalam firman-Nya, surah al-Tawbah [9]: 71, sebagai berikut:
وَالْمُؤْمِنُوْنَ
وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ
وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهُۗ اُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ
عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ (٧١)
“Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan
mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah
Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Dalam menjelaskan ayat di atas,
Hamka menulis, “Orang-orang perempuan pun pergi bersama-sama ke medan perang,
sebab mereka adalah mukminat. Di dalam hadis-hadis yang sahih, riwayat Bukhari
dan Muslim dan ahli-ahli hadis yang lain diterangkan bahwa Fatimah binti
Rasulullah bersama Ummi Sulaim turut dalam Perang Uhud. Aisyah pun turut dalam
perang itu. Kerja mereka ialah pekerjaan yang pantas bagi perempuan.
Menyediakan air minum atau mengobati yang luka.” (Tafsir
Al-Azhar, 4: 3028)
Perempuan -berdasarkan penjelasan
Hamka- memegang peran sentral sebagai pendukung utama kekuatan pasukan umat
Islam. Tanpa adanya harmoni kesalingan (laki-laki dan perempuan), maka kekuatan
umat Islam tak akan kokoh, layaknya rumah yang kehilangan salah satu tiang
penyangganya. Sehingga lama-kelamaan akan goyah dan roboh.
Syahdan, dalam konteks keluarga,
perempuan masyhur disebut sebagai “madrasat al-ūlā”, sebagaimana ucapan
penyair:
الْأُمُّ مَدْرَسَةُ
الْأُوْلَى إِذَا أَعْدَدْتَهَا أَعْدَدْتَ شَعْبًا طَيِبَ الْأَعْرَاقِ
“Ibu
adalah madrasah (tempat pendidikan) pertama, bila kamu memperhitungkannya, maka
berarti kamu memperhitungkan lahirnya sebuah bangsa (generasi) yang baik budi
pekertinya.”
Dengan ini, dapat dipahami bahwa perempuan
merupakan sosok pemeran kunci dalam mencetak baik-buruknya suatu generasi. Perempuan
yang kuat niscaya akan melahirkan generasi yang hebat. Seperti kata pepatah, “Tangan
ibu laksana tangan Tuhan, sabda ibu laksana sabda Tuhan.
Perempuan Kuat, Generasi Hebat
Ada sebuah kisah inspiratif terkait
sosok perempuan yang luar biasa. Tak lain dan tak bukan sosok itu adalah ibu
dari ulama ahli hadis ternama, al-Imām al-Bukhārī.
Dikisahkan -terang ‘Abd al-Ḥakīm
al-Anīs dalam Umm
al-Bukhārī- sang Ibu sebagai seorang single parent (orang tua
tunggal). Sebab, ia ditinggal wafat oleh suaminya saat al-Bukhārī masih belia. Meski
sebagai seorang single parent, sang Ibu tetap mempunyai tekad yang kuat
untuk menjadikan anaknya sebagai orang yang sukses dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Pada suatu waktu -kisah berlanjut-,
sang Ibu mendapati cobaan yang teramat besar, yakni anaknya (al-Bukhārī)
divonis buta permanen. Namun, tekad sang Ibu tak patah begitu saja, ia selalu melangitkan
doa untuk anaknya di setiap saat.
Hingga pada suatu malam, sang Ibu
bermimpi bertemu Nabi Ibrahim al-Khalil a.s. Dalam mimpinya tersebut, Nabi Ibrahim
a.s. berkata, “Wahai perempuan, sungguh Allah telah mengembalikan penglihatan
anakmu sebab banyaknya doa yang kau panjatkan.” Kemudian sang Ibu terbangun,
hatinya bergetar karena mimpi ini, dan ia lalu duduk sembari menunggu waktu
subuh.
Saat fajar tiba, sang Ibu lantas
membangunkan anaknya untuk salat. Dan di sinilah sang Ibu terkejut, mimpinya ternyata
menjadi kenyataan, anaknya (al-Bukhārī) dapat melihat kembali seperti sediakala
berkat anugerah dari Allah Swt. Dengan dipenuhi rasa syukur, sang Ibu lalu
bangkit mengambil air wudu, dan menangislah ia dalam sujudnya.
Hikmah yang dapat diambil dari kisah
di atas adalah sosok seorang ibu yang selalu sabar dan kuat dalam menghadapi
cobaan, serta tekad dan semangat pantang menyerah yang lebih keras dari baja.
Akhirnya, bagaimanapun perempuan memegang
peran kunci dalam mengawal terbentuknya generasi emas yang cerdas, hebat,
bermartabat, dan ber-akhlāqul-karīmah. Semoga Allah selalu merahmati
kita semua. Wallahu waliyyuna.