Oleh: Kevin Erdinta
Terdapat kisah-kisah menarik seputar Sayidina
Ali namun belum banyak dituliskan. Keluasan ilmu Sayidina Ali berasal dari
pemahaman mendalam terhadap Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad. Dikisahkan setelah
Sayidina Ali dibaiat menjadi khalifah keempat, beliau naik ke atas mimbar dan
berkata “Ma’asyirannas…tanyalah kepadaku sebelum kalian kehilanganku”.
Perkataan itu menunjukkan beliau siap dan mampu menjawab berbagai persoalan dan
memberikan jawaban. Namun, timbul pertanyaan dalam benak kita. Secerdas apa
Sayidina Ali?
Ali bin Abi Thalib (Jumat, 13 Rajab
600 M) lahir dari sepasang kekasih keturunan suku Hasyim. Ibunya memberi nama
“Haidar” yang berarti “singa” karena seperti nama ayahnya “Asad” berarti
“singa”. Namun, Abu Thalib menamai Ali yang berarti luhur, tinggi dan agung.
Sayidina Ali adalah orang pertama dari kalangan Quraisy dan keturunan ibu
bapaknya dari suku Hasyim yang masuk islam. Setelah beliau berkeluarga, ia
dipanggil dengan beberapa nama panggilan seperti kebiasaan masyarakat Arab,
misalnya Abu Hasan (Bapak Hasan), Abu Sibtain (Ayah Dua Cucu), Abu Husain
(Panggilan Hasan), Abu Hasan (Panggilan Husain), Abu Turab (Bapak Debu/Gembur)
-nama yang diberikan Nabi SAW karena menemukan Sayidina Ali sedang berbaring
dilantai tanpa baju dan tanpa alas sehingga badannya berlumur tanah.
Beliau orang pertama dari keturunan
suku Hasyim dan kalangan anak muda yang ketika itu belum akil balig menerima Islam
tanpa ragu dan berunding dengan siapa pun. Nabi Muhammad sangat mencintai
Sayidina Ali dan hampir semua kegiatan bersamanya. Abu Thalib merupakan bapak
dari Sayidina Ali yang mengasuh Nabi Muhammad pada saat kecil setelah Abdu
Muthalib meninggal dengan pengasuhan yang sangat besar karena kecintaannya kepada
Nabi SAW. Begitu juga dengan Nabi Muhammad kepada Sayidina Ali sebagai balas
budi kepada Abu Thalib, bahkan ketika Sayidina Ali memasuki usia remaja, oleh Nabi
dinikahkan dengan Fatimah Az-Zahra.
Sayidina Ali sebagai tempat
konsultasi para sahabat terkemuka mengenai suatu permasalahan agama, Al-Qur’an
dan Tafsir, meminta fatwa, dan lain-lain. Oleh karena itu, beliau dijuluki “Babul
‘Ilm” atau pintu ilmu karena beliau memiliki kepribadian dan dedikasinya luar
biasa kepada Nabi Muhammad SAW. Misalnya mengenai tafsir sebagaimana diakui
oleh Ibnu Abbas bahwa dalam menafsirkan Al-Qur’an, beliau belajar kepada
Sayidina Ali. Beliau juga menjadi penasihat para khalifah, yaitu Abu Bakar,
Umar, dan Utsman, ketika mereka memutuskan suatu perkara. Beliau sangatlah
mendalam pandangannya dalam berbagai hal, bahkan musuh-musuh beliau dapat
menerimanya. Contoh lagi ketika Nabi Muhammad mengutus Sayidina Ali ke Yaman
untuk menghadapi suatu masalah krusial dan Nabi SAW mendoakan “Ya Allah,
teguhkan tutur katanya dan berilah bimbingan dalam hatinya”. Ada sebuah hadis
yang disebut “Hadis Madinatul ‘Ilmi” tentang keutamaan Sayidina Ali dari segi
keilmuan dan beberapa matan hadis yang serupa dalam menjelaskan keutamaannya.
أنا
مدينة العلم و عليّ بابها
“Aku adalah kota
ilmu, dan Ali adalah pintu gerbangnya”
Dalam kitab Al-Ghadir fi al-Kitab
wa al-Sunnah wa al-Adab halaman 78-79 menerangkan kesahihan dari hadis “Madinatul
‘Ilm” ini sebagaimana diakui oleh sebagian ulama Ahlusunah, seperti Ibn Jarir
At-Thabari, Naisyaburi, Khatib Al-Baghdadi, dan Jalaluddin Suyuti.
Dalam buku Mengungkap Untaian
Kecerdasan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, menunjukkan bagaimana Sayidina Ali
menjawab persoalan-persoalan yang sangat sulit dijawab oleh para sahabatnya
sendiri, di antaranya persoalan akidah dan masyarakat.
Salah satu contoh dari persoalan
akidah adalah ketika datang sekelompok pendeta Yahudi menanyakan persoalan di
mana Allah kepada khalifah pertama Abu Bakar As-Shiddiq. Kemudian, dijawab oleh
Abu Bakar namun jawabannya dibuat pertanyaan lagi oleh si pendeta sehingga abu
bakar marah dan mengatakan kepada pendeta itu dengan perkataan zindik. Lantas
kemudian Sayidina Ali menemui pendeta tersebut dan berkata “Aku sudah tau apa
yang kamu tanyakan dan kamu bantah dan sekarang aku katakan bahwa Allah yang
mengadakan “di mana” (tempat). Oleh karena itu, “di mana” tidak berarti
bagi-Nya. Dia sangat tinggi untuk diliputi tempat. Dia ada di mana-mana, tidak
ada sentuhan, tidak ada pegangan tangan. Dia mengetahui segala yang ada
pada-Nya. Tidak ada sesuatu apa pun yang lepas dari pengawasan-Nya dan akan aku
beri tahu kalian tentang yang ada di dalam salah satu kitab kalian yang
membenarkan apa yang aku katakan tadi jika kalian tahu apakah kalian akan percaya?”
Mereka menjawab “Ya” Ali meneruskan, “Tidakkah kalian membaca dalam sebagian
kitab kalian bahwa Musa bin Imran pernah suatu hari beliau duduk, tiba-tiba
datang kepadanya malaikat dari timur, lalu Musa bertanya kepadanya “Dari mana
kamu datang?” Malaikat menjawab “Dari Allah”. Kemudian datang malaikat dari
arah barat, Musa bertanya “Dari mana kalian datang?”, Malaikat menjawab “Dari
Allah” kemudian datang malaikat dari langit ketujuh dan berkata “Aku datang
kepadamu dari langit ketujuh, dari Allah” dan datang pula malaikat dan berkata
“Aku datang dari bumi yang paling bawah, dari Allah”.
Lalu Musa berkata “Mahasuci yang
tiada tempat yang kosong dari-Nya dan tiada satu tempat yang lebih dekat
kepada-Nya dari tempat yang lain”. Kemudian pendeta berkata “Kami bersaksi
bahwa itu benar”.
Contoh persoalan masyarakat
adalah ketika Sayidina Ali memanggil kedua wanita yang sedang memperebutkan
bayi yang mereka akui sebagai anaknya sendiri. Kemudian, dinasihati oleh
Sayidina Ali, tetapi tetap bertengkar. Lalu kemudian memerintahkan kedua wanita
itu untuk mengambil gergaji. Sontak kaget dan bertanya