Oleh: Feby Audina Fadia
Dewasa ini nampak penyebaran dan
pengkajian Al-Qur’an di media online yang kian berkembang, seperti di
Instagram, Youtube, Twitter, Quora, Facebook, dan lainnya. Tidak heran apabila
banyak penelitian yang dilakukan para akademisi dalam pengkajian Al-Qur’an di
media online. Artikel ini hasil ringkasan dan refleksi dari materi peningkatan
kompetensi mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya yang dilaksanakan
pada hari Rabu 04 Oktober 2023 dengan pemateri Ibu Limmatus Sauda, M.Hum
sebagai Pemimpin Redaksi tafsiralquran.id).
Menyinggung beberapa penelitian terdahulu,
adanya penyajian Al-Qur’an sering kali dihubungkan dengan persoalan pergeseran
otoritas. Semula Al-Qur’an maupun tafsir berupa cetakan, namun pada era
sekarang menjadi digital. Semula penulisnya dari kalangan ulama maupun intelektual, kini siapa saja yang
berkeinginan menulis dapat mempublikasikannya di media online. Namun dalam
pemaparan kali ini, Bu Limmatus Saudah tidak menyinggung sama sekali terkait
pergeseran otoritas. Justru menurutnya, adanya transformasi penyampaian dan
penyebaran Al-Qur’an masa kini merupakan bagian dari sejarah.
Tranformasi Penyebaran Al-Qur’an dari
masa ke masa awalnya dengan lisan, tulisan, cetakan hingga digital. Fase
pertama, Lisan menjadi media pertama yang otoritas tunggal dari penerima wahyu
yakni Rasulullah SAW. Pada fase ini, ketika ada sahabat datang ke Rasulullah
bertanya mengenai suatu persoalan, maka Nabi jawab dengan ayat Al-Qur’an. Namun
fase lisan ini tidak menutup kemungkinan terjadinya versi bacaan beragam yang
kemudian menimbulkan problem sosial.
Fase kedua, tulisan sebagai media
tambahan mengingat kondisi pada masa itu banyak para penghafal yang gugur saat
berperang. Pada fase ini, Al-Qur’an mendapat cukup banyak perhatian, mulai dari
kodifikasi, penyeragaman qiraat, hingga upaya pengadaan tanda baca. Seiring
berjalannya waktu Al-Qur’an masuk pada fase ketiga penyebaran berupa cetakan.
Disebutkan bahwa masa ini bersinggungan dengan non muslim sebagai pencetak Al-Qur’an
pertama.
Mulailah masuk pada fase digital saat
ini yang kian berkembang dan menjadi konsumsi hingga kontestasi. Berbeda jauh
dengan fase sebelumnya, pada fase ini Al-Qur’an butuh performa yang variatif, disajikan dengan ke-kreatifan
serta pemahaman mengenai algoritma perkembangan teknologi, bukan hanya
menonjolkan keilmuan saja. Bu Lim menyebutkan, di sinilah fungsi lukratif
Al-Qur’an memainkan perananannya, yang disajikan dengan ringkas, sederhana, tapi
menghasilkan.
Mulanya publikasi di media digital
adalah penyajian ayat-ayat Al-Qur’an, disertai terjemahan dan akhirnya kian
masuk pada pembahasan tafsirnya. Penyebaran Al-Qur’an ini disebutkan awal kali
dari website kampus-kampus yang seringkali mengkaji studi Al-Qur’an. Disusul
oleh beberapa kalangan yang justru menyajikan Al-Qur’an di website dengan
materi yang dikhawatirkan dapat merusak pemikiran umat Islam di Indonesia. Di sinilah
terjadi kontestasi Al-Qur’an ketika terdapat website yang justru menyajikan
laman tulisan negatif.
Kendati demikian, pengkajian Al-Qur’an
di website ini masih banyak laman yang dapat dijadikan rujukan. Dalam dunia
website, seseorang ketika menelusuri kata kunci "Al-Qur’an" saja maka
nampak beberapa laman teratas, seperti quran.kemenag.go.id, quran.com,
quran.nu.or.id hingga kalam.sindonews.com yang juga menyajikan Al-Qur’an
digital serta terjemahan dan dilengkapi tafsirnya. Adapun ketika mencoba
menelusuri dengan kata kunci "Tafsir Al-Qur’an" maka beberapa website
yang muncul diantaranya tafsiralquran.id, studitafsir.com, tafsirq.com,
tanwir.id dan lain sebagainya. Laman website tersebut dapat dijadikan rujukan
serta terbuka bagi yang hendak berkontribusi dalam mengirim karya tulisan
seputar pengkajian Al-Qur’an dan tafsirnya.
Beralih pada media online lainnya
yakni Instagram, jejaring sosial yang memudahkan penggunanya dalam berbagi foto
maupun video. Konten Al-Qur’an yang disajikan di Instagram bervariasi
tergantung pada pemilik akunnya. Contohnya seperti pada akun @quransayings yang memiliki 3,4 juta
jumlah pengikut. Kontennya berisi kutipan satu ayat Al-Qur’an yang disajikan
tiap harinya. Hal ini sesuai dengan tagline pada bionya "Islamic reminder posted daily".
Tampilan berbeda disajikan pada akun
Instagram @quranreview yang
memiliki 374 ribu jumlah pengikut. Pengkajian Al-Qur’an pada akun ini berisikan
hasil refleksi dengan problem kehidupan serta refleksi fenomena yang sedang
hangat. Tak heran @quranreview
sangat digemari oleh pemuda pemudi karena isi kontennya yang menyajikan desain
menarik, mudah dipahami dan related dengan kondisi saat ini hingga merintis
sebuah start up. Di antara hasil
rintisan dari @quranreview, yakni program kajian online
berlangganan setiap hari senin yang disebut "mondate"
serta penjualan beberapa buku kajian Al-Qur’an dan kitabnya yang disajikan
dengan kreatif.
Begitulah kiranya ketika Bu Lim
menyebutkan adanya kontestasi di dunia digitalisasi Al-Qur’an. Pertama,
berkontestasi dengan angka-angka, meliputi jumlah penonton, pengikut, like,
komen, save dan share. Kedua, berkontestasi dalam hal finansial dan aspek ideologis.
Seperti halnya pada beberapa website dan akun media online lainnya yang
menghasilkan dana dari hasil penyajian digitalisasi Al-Qur’an. Perebutan
ideologis juga menjadi kontestasi di media online sehingga seseorang perlu
menyaring informasi yang didapat sebelum melanjutkan share.
Rasulullah SAW. memberi beberapa perhatian
terkait interaksi kaum muslim dengan Al-Qur’an. Pertama, Membaca dan menghafal
Al-Qur’an. Kedua, mewariskan kunci-kunci pemahaman yang benar. Ketiga, mentadaburi
Al-Qur’an, istinbat, serta mengoreksi pemikiran ketika keliru dalam pemahaman
Al-Qur’an. Pesan Bu Lim, bagi website maupun media online lainnya, perlu adanya
kompetisi dalam penyajian informasi secara cepat, akurat dan kreatif. Hal
tersebut agar website ataupun media online lainnya mampu survive dalam penyajian digitalisasi Al-Qur’an. Dengan begitu,
marilah membuka diri untuk sejarah baru dalam dunia perkembangan penyebaran Al-Qur’an,
dengan tujuan untuk sharing keilmuan juga dapat menghasilkan.