Oleh: Abdul
Aziz Ali Fikri
Suatu ketika ada anak kecil yang
hendak melakukan ziarah ke baginda Rasul Muhammad Saw. Ia pergi bersama adik
dan ayahnya. Ketika itu kondisi sedang ramai-ramainya, sehingga ia yang masih
kecil harus berdesak-desakan dengan berjuta orang dari berbagai macam latar
belakang etnis, suku dan negara. Tiba-tiba ada seorang muslim yang sama sekali
tidak ia kenal, kemudian menggendong dirinya dan menghantarkan dia untuk
berziarah ke baginda Rasul tanpa kesulitan.
Sang anak merasa aneh dan tidak
nyaman, ia merasa asing oleh keramahan orang muslim tersebut. Ayahnya yang “peka”
terhadap keanehan anaknya, lantas tahu bdak hanya terbatas pada unsur darah
saja, tetapi ada juga pada unsur keimanan. Disitulah anak tersebut paham dan ia
berterima kasih sebanyak-banyaknya kepada orang muslim tersebut, bahkan
berterima kasih layaknya sikap terhadap saudaranya sendiri.
Kisah tersebut bukanlah kisah
fiktif, kisah tersebut merupakan pengalaman penulis ketika ia baru pertama kali
belajar Islam. Sangat mungkin, bagi sebagian orang kisah tersebut terkesan
biasa. Akan tetapi, sebagai penganut agama dengan populasi terbesar kedua di
dunia, suasana kisah tersebut menggambarkan bagaimana kondisi persaudaraan
sesama iman yang dimiliki oleh kaum muslim.
Dibandingkan dengan agama lain,
Islam memiliki suasana keagamaan yang inklusif, meski harus diakui di dalam
kondisi internal Islam banyak sekali perbedaan-perbedaan pendapat. Di mata
dunia, Islam memiliki keistimewaan tersendiri. Islam berhasil menggabungkan
persaudaraan dikala adanya banyak perbedaan keyakinan penganutnya, suatu hal
yang sangat sulit terjadi bagi kalangan-kalangan agama lain.
Bagi Islam, wacana persaudaraan
memang bukan berarti tanpa sebab. Telah lama diterangkan oleh Al-Qur’an -hal
yang mana kemudian pemikiran ini dipopulerkan oleh Tamim Anshori dalam bukunya Destiny
Disrupted (2009)- bahwa identitas muslim ternyata bukan hanya fakta
individualisme, lebih dari itu ia mengandung aspek kebersamaan (ummah)
dalam bentuk “persaudaraan”.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ
إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ
تُرْحَمُونَ (١٠)
“Sesungguhnya orang-orang mukmin
itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati. (QS. Al-Ḥujurāt [49]:10).”
Kata ikhwah bermakna
saudara seketurunan kecuali pada ayat ini, yang semestinya ayat ini menggunakan
kata ikhwān (saudara tidak seketurunan). Menurut M. Quraish Shihab, hal
demikian bertujuan untuk mempertegas dan mempererat jalinan hubungan
antarsesama muslim, seakan-akan hubungan tersebut bukan saja dijalin oleh
keimanan, melainkan juga seakan-akan dijalin oleh persaudaraan seketurunan (ikhwah).
Oleh karena itu, dalam ayat ini, sebagaimana keterangan singkat dari Syekh Nawawi, jika ada saudara
sesama muslim dalam suatu urusan mereka berselisih pendapat, maka serulah
mereka dalam perdamaian. Hal itu agar berimplikasi terhadap ketaqwaan yang
diguyur oleh rahmat
Tuhan.
Persaudaraan antar umat Islam
merupakan ciri khas yang dimiliki oleh agama Islam. Kepiawaian kaum muslim
dalam membangun sebuah persaudaraan, pada saat bersamaan menjadi alasan mengapa
agama Islam perkembangannya sangat cepat. Di sisi yang lain, kaum muslim layak
merasa terhormat. Karena berbagai event toleransi internasional selalu
melibatkan Islam sebagai titik sentralnya. Mengapa harus Islam? Barangkali,
persaudaraan yang digagas oleh umat Islam banyak menjadi pembelajaran bagi
seluk-beluk umat-umat lain.
Kemungkinan besar, kesuksesan dalam
membangun persaudaraan Islam tersebut terwarnai dengan kesadaran tinggi untuk
saling menolong antar umat Islam. Kesadaran ini memang menjadi dominasi
karakter dalam persaudaraan sesama muslim. Al-Qur'an bahkan mengafirmasi
bagaimana karakter ini menjadi pembeda dengan umat yang lain.
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللَّهَ
وَرَسُولَهُ أُولَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٧١)
“Orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain). Mereka menyuruh (berbuat)
makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah [9]:71)
Ṭāhir Ibn ‘Āshūr menyatakan bahwa
yang menghimpun orang-orang mukmin adalah keimanan yang mantap yang melahirkan
tolong menolong yang di ajarkan Islam. Pendapat ini senada dengan Ibn Kathīr yang mengatakat bahwa
mereka saling menolong dan mendukung. Sifat mukmin yang seperti itu banyak
dinyatakan oleh hadis-hadis Nabi Muhammad antara lain seperti sabdanya:
عن أبي موسى رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى
الله عليه وسلّم المؤمن لِلْمُؤْمِن كَا أَبْنَيَانِ يَسُلَّ بَعْضُهُ بَعْضًا
Diriwayatkan dari Abū Mūsā r.a. Rasulullah Saw bersabda, “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya
seperti bangunan yang saling menguatkan satu sama lain.”
Syekh Nawawi juga menjelaskan
bahwa status penolong tersebut itu semuanya diperoleh dengan sebab persaudaraan
dalam mencari petunjuk, taufik dan hidayah. Oleh karena itu, kiranya tidak
berlebihan jika penulis mengatakan bahwa persaudaraan sesama muslim secara
serius harus benar-benar menjadi kebanggaan. Hadirnya persaudaraan sesama
muslim ini menjadi bukti, bahwa dalam berinteraksi sosial faktor keimanan dapat
menjadi acuan. Hal ini juga menjadi poin plus untuk diri kita, terutama dalam
menjaga keimanan stabilitas keimanan.