Oleh: Muhammad Rizky Shorfana
Orientalisme
adalah cara yang digunakan bangsa Barat untuk memahami dunia timur. Dunia Timur
sebenarnya adalah negara-negara jajahan mereka yang memiliki kekayaan, pusat
peradaban, dan pusat budaya. Meski begitu, lambat laun kajian orientalisme
dipusatkan pada pembahasan atau kajian Islam, sehingga berpengaruh terhadap
dunia pendidikan Islam, termasuk Islam di Indonesia. Oleh karena itu, penulis
ingin menjelaskan pengaruh orientalisme terhadap pendidikan Islam di Indonesia.
Pendidikan
agama Islam merupakan salah satu bentuk proses islamisasi di Indonesia, karena
suatu pendidikan pada hakikatnya adalah aktivitas interaktif antara si pendidik
dan subjek yang dididik untuk mencapai sebuah tujuan. Tujuan dari pendidikan
agama Islam itu sendiri, yakni menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, pendidikan ini dapat dikategorikan sebagai bentuk islamisasi
di Indonesia.
Sejarah
pendidikan Islam itu sendiri dimulai sejak saat berkuasanya kerajaan-kerajaan
Islam di Indonesia, seperti kerajaan Aceh dan kerajaan Mataram Islam.
Kerajaan-kerajaan tersebut dapat dikatakan memiliki peran penting dalam
mewadahi pendidikan agama Islam. Pada masa itu juga lembaga pendidikan Islam
mulai banyak berdiri di Indonesia, seperti surau, meunasah, pesantren, dan madrasah.
Namun dengan seiring berkembangnya zaman dan masuknya kolonialisme di
Indonesia, pendidikan Islam mulai dipengaruhi oleh orientalisme yang dibawa
oleh kolonialisme.
Pengaruh
orientalisme dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia dirasakan pertama kali
pada masa kolonial Belanda. Lebih tepatnya pada tahun 1607, ketika VOC
mendirikan sekolah pertama di kota Ambon. Kemudian pada tahun berikutnya, mulai
banyak berdiri lembaga pendidikan lainnya, khususnya pada daerah bekas jajahan
Portugal. Hal itu dilakukan Belanda karena tujuan sekolah belanda sendiri
adalah untuk memberantas ajaran agama Katolik dan menyebarkan ajaran agama
Protestan.
Namun, sekitar
abad ke-18 sebuah tragedi malang terjadi, yakni gagalnya pencapaian misi
kolonial Belanda dalam memberantas ajaran agama Katolik. Hal ini disebabkan
belum tersedianya sekolah Belanda di luar Jawa. Sehingga cita-cita kolonial
Belanda untuk menghapus ajaran Katolik dan menyebarkan ajaran Protestan harus
sirna di tengah jalan.
Kendati
demikian, bukan kolonial Belanda namanya jika tidak memiliki jalan keluar untuk
menangani problem tersebut. Sekitar tahun 1907 Belanda membuat sebuah kebijakan
baru yang disebut sebagai politik etis, di mana masyarakat pribumi mendapatkan
sebuah kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sama dengan warga Belanda dan
Tionghoa. Di lain sisi, pada waktu yang sama Jendral Van Heutz juga mendirikan
sekolah desa, yang kemudian diikuti dengan berdirinya sekolah kelas satu, kelas
dua, sekolah desa, dan lain sebagainya.
Namun dalam
perkembangannya, sekolah-sekolah yang ada saat itu tidak mampu menampung semua
anak pribumi yang juga ingin mengenyam pendidikan. Oleh karena itu, pemerintah
kolonial Belanda menciptakan sebuah alternatif baru untuk mendirikan
sekolah-sekolah yang merakyat dan egalitarian untuk seluruh kalangan, seperti
halnya pesantren, surau maupun dayah.
Perlu diketahui
juga bahwa metode dan materi yang diberikan oleh sekolah Belanda itu berbeda
dengan pesantren maupun surau. Metode pengajaran pesantren adalah non-klasikal,
sedangkan sekolah Belanda menggunakan metode sebaliknya. Adapun dari segi
materi, pondok pesantren mengajarkan tentang ilmu-ilmu agama Islam, sedangkan
sekolah Belanda mengajarkan tentang ilmu-ilmu umum.
Dikarenakan
terdapat perbedaan yang sangat signifikan dari segi metode maupun materi antara
sekolah Belanda dan lembaga pendidikan Islam, pada akhirnya lembaga pendidikan
ini berjalan sendiri-sendiri. Sehingga banyak pesantren, surau dan juga dayah
yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah kolonial Belanda. Hal tersebut
juga karena pemerintah kolonial Belanda
tidak berani ikut campur dalam ajaran agama Islam. Lebih lagi mereka juga tidak
memiliki pengetahuan yang memadai tentang agama Islam dan bahasa Arab.
Hingga pada
tahun 1899, datanglah Snouck Hurgronje ke Indonesia sebagai penasihat
pemerintah Belanda, khususnya dalam bidang pendidikan Islam. Ia membagi
persoalan Islam menjadi tiga hal, yaitu bidang ibadah, sosial kemasyarakatan,
dan politik. Dari ketiga hal tersebut, kemudian dirumuskan menjadi satu
persoalan, yakni politik Islam. Akan tetapi pada realitasnya, pemerintah
Belanda banyak mengeluarkan kebijakan yang dianggap merugikan dan membatasi
gerakan Islam.
Beberapa
tindakan ini merupakan formasi khusus anti-agama dan pendidikan Islam. Selain itu,
dari badan yang disahkan pemerintah Belanda tersebut juga mengeluarkan
peraturan baru, yaitu bahwa setiap warga negara yang mengajarkan pelajaran
agama Islam harus mendapat izin dari pemerintah Belanda. Tidak hanya itu
sekitar tahun 1925, pemerintah Belanda mengeluarkan kebijakan baru yang lebih
ketat daripada sebelumnya, yaitu bahwa tidak semua kiai boleh memberikan
pelajaran mengaji kecuali mendapat rekomendasi dari pemerintah Belanda.
Tidak berhenti
sampai di situ, sekitar tahun 1932 pemerintah Belanda kembali mengeluarkan
kebijakan yang baru, yaitu sebuah peraturan yang berisi wewenang untuk
memberantas dan menutup madrasah yang memberikan materi pembelajaran berbeda
dengan aturan pemerintah Belanda atau dikenal juga dengan Wilde School Ordonantie (Ordonisasi Sekolah Luar).
Dari
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda tersebut, pada
akhirnya pendidikan agama Islam di Indonesia mengalami sebuah pembaharuan
akibat peradaban Barat yang dibawa oleh penjajah Belanda. Lembaga pendidikan
Islam tidak lagi sekadar memberikan materi seputar pelajaran agama saja, tetapi
juga memberikan materi seputar pelajaran umum. Metode pembelajaran pendidikan
agama Islam pun berubah dari non-klasikal menjadi klasikal.