Oleh: Naufa Izzul Ummam
Ditinjau dari segi historis ataupun doktrin agama, Islam sepakat dikatakan
sebagai ajaran yang disampaikan oleh Muhammad Saw. yang merupakan penyampai
wahyu dari Allah Swt. Sebagai seorang Nabi, tidak mengherankan memang jika
Muhammad Saw. sangat dihormati, dikagumi bahkan diagungkan. Seorang peneliti
barat bahkan memberinya peringkat pertama dalam kategori orang paling
berpengaruh di dunia.
Dengan alasan pengagungan tersebut, beberapa penulis sirah maupun tafsir
menyatakan bahwa Rasulullah memiliki beberapa Mukjizat yang luar biasa. Mulai
dari Isra’ Mi’raj sampai dengan mampu mengeluarkan air dari jari-jarinya.
Apabila dibandingkan dengan kisah-kisah Nabi di masa lampau, barangkali penisbatan
fenomena ajaib ini wajar-wajar saja, sebab Nabi terdahulu pun atas izin Allah
mampu mempertontonkan mukjizat yang menakjubkan. Menyembuhkan penyakit kusta
dan buta misalnya, pernah dilakukan oleh Nabi Isa As. sebagaimana yang
dijelaskan dalam QS. al-Maidah: 110.
Berita Terbelahnya Bulan
Salah satu mukjizat masyhur yang
diklaim pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. adalah dikala beliau pernah
membelah bulan. Klaim ini oleh kebanyakan penulis dilegitimasi dengan narasi
yang terdapat dalam QS. al-Qamar: 1-3 yang berbunyi
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَر (1)
وَإِنْ يَرَوْا آيَةً يُعْرِضُوا وَيَقُولُوا سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ (2)
Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah
bulan (1) Dan jika mereka melihat suatu tanda, mereka berpaling dan berkata:
"(Ini adalah) sihir yang terus menerus" (2).
Ibnu Katsir manakala
mengomentari kata terbelahnya bulan di atas mengatakan bahwa menjadi
kesepakatan para ulama bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw. benar-benar terjadi
fenomena terbelahnya bulan. Untuk lebih melegitimasi pendapatnya, ia menukil
riwayat sahih dari Ibnu Masud yang mengatakan “Lima perkara yang telah terjadi;
Penaklukan kota Romawi, kepulan asap, kematian, siksaan yang keras, dan
terbelahnya bulan”. Lebih tegas, Ibnu Katsir mengatakan bahwa bukti dari
peristiwa tersebut dapat ditemui dalam hadis sahih bahkan mutawatir[1].
Perdebatan mengenai terbelahnya bulan
Lantas kemudian yang
menjadi pertanyaan adalah bagaimana bentuk dari bulan yang terbelah itu. Sayyid
Qhutub mengakui bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama bagaimana
bentuk detail dari fenomena terbelahnya bulan ini[2].
Walau di satu sisi
kuantitas riwayat mengenai terbelahnya bulan berdampak pada positif (menjadikan
berita terbelahnya bulan mutawatir), namun disisi lain, riwayat yang banyak
tersebut membawa narasi yang berbeda mengenai bentuk dari terbelahnya bulan.
Satu riwayat
mengatakan bahwa penduduk Mekkah dapat melihat bukit Hira di antara kedua
belahan bulan. Satu riwayat mengatakan bahwa seorang saksi dapat melihat bulan
di satu sisi bukit dan satu belahan yang lain terdapat di bukit seberang.
Riwayat lain hanya membawa narasi bahwa bulan memang terbelah dua tanpa
menyebutkan bagaimana bentuknya. Ada pula yang meriwayatkan bahwa gerhana bulan
terjadi sebelum dua ayat di atas turun[3].
Buya Hamka, seorang mufasir
kenamaan Indonesia setelah meneliti berbagai macam riwayat yang disajikan di atas,
mengambil kesimpulan bahwa bulan yang kelihatan terbelah dua adalah riwayat
yang sah, sebab berdasarkan pada riwayat-riwayat di atas, dua riwayat membawa
narasi bahwa bulan memang berbelah dua, lebih banyak dibanding yang lain[4].
Saat lanjut
menafsirkan ayat kedua dalam surah al-Qamar, Hamka menulis narasi yang membawa
konotasi bahwa ia mengakui bahwa peristiwa terbelahnya bulan sebagai Mukjizat
Nabi Muhammad Saw. senada dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu Katsir sebelumnya[5].
Tanggapan Mun’im
Sirry
Berbeda dengan pendapat Ibnu Katsir dan Buya
Hamka, Mun’im Sirry mengutarakan pendapat yang berbeda. Merujuk pada
pandangannya, peristiwa terbelahnya bulan tidak seharusnya dipahami sebagai
fenomena bulan berbelah menjadi dua, melainkan sebagai fenomena gerhana bulan
biasa. Gerhana inilah yang menjadi bagian dari tanda-tanda kebesaran tuhan
sebagaimana fenomena alam yang lain, perubahan siang malam atau turunnya air
dari langit misalnya[6].
Ia juga mengajukan
alternatif pemaknaan yang lain, bahwa frasa insyaqqa dalam Alquran sebagaimana
juga yang terdapat dalam QS al-Qamar: 1 selalu diasosiasikan dengan peristiwa
eskatologis (peristiwa yang akan datang). Seperti dalam kisah terbelahnya
langit pada hari kiamat dalam QS. ar-Rahman: 37 dan QS. al-Isyiqaq: 1[7].
Pendapatnya ini
merupakan pendapat yang identik dengan pandangan sebagian kecil mufasir,
ast-Tsa’labi dan al-Mawardi contohnya. Mereka sepakat mengatakan bahwa
peristiwa ini bukan pengalaman historis Nabi. Kata terbelahnya bulan dalam QS.
al-Qamar: 1 harus dimaknai dengan peristiwa terbelahnya bulan pada masa yang
akan datang, bulan akan terbelah sebab bunyi tiupan trompet sangkakala
menjelang hari kiamat[8].
Memang, dalam
bukunya Rekonstruksi Islam Historis, Mun’im Sirry tidak menyebutkan secara
gamblang alasan dari penolakannya terhadap berita dengan tingkat mutawatir
mengenai terbelahnya bulan. Ia lebih sering mengkritik penulis sejarah yang
kerap menuliskan superioritas Nabi Muhammad sebagai mitologisasi karena alasan
pengagungan, padahal Muhammad dalam Alquran digambarkan sebagai manusia biasa
yang menyampaikan pesan Allah.
Menjadi penting bagi
Mun’im Sirry manakala ia mengatakan bahwa terbelahnya bulan pada ayat di atas
perlu dipahami sebagai gerhana bulan. Sebab apabila dipahami demikian, maka
kemukjizatan Nabi yang mampu membelah bulan menjadi dua ter patahkan. Sebab
gerhana bulan adalah fenomena yang kerap terjadi di dunia bahkan di zaman Nabi
sekalipun.
Pemahaman mengenai mukjizat
membelah bulan juga akan ter patahkan dengan pendapat yang mengatakan bahwa
bulan tidak terbelah di zaman nabi, namun akan terbelah pada saat hari kiamat
kelak. Dengan peniadaan peristiwa terbelahnya bulan pada zaman Nabi, menjadi
jelas bahwa hal tersebut bukanlah mukjizat dari Nabi Muhammad Saw.
Kesimpulan
Dengan demikian,
terlihat dengan gamblang bahwa Mun’im Sirry tidak setuju dengan kebanyakan para
penulis sirah maupun tafsir yang mengatakan bahwa peristiwa terbelahnya bulan
adalah bagian dari mukjizat Nabi. Tampaknya, ia mengafirmasi sebuah pernyataan
yang mengemukakan bahwa Mukjizat Nabi Muhammad Saw. hanyalah Alquran[9]. Wallahu A’lam.
Daftar Rujukan
Amrullah, Abdul
Karim. Tafsir Al-Azhar. Singapura:
Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura, n.d.
Katsir, Ibnu. Tafsir
Ibnu Katsir. Jakarta:
Pustaka Imam Syafie, 2005.
Quṭb, Sayyid. Tafsir
fi zhilalil Qur’an: dibawah naungan Al-Quran. Jakarta: Gema
Insani Press, 2000.
Sirry, Mun’im. Rekonstruksi
Islam Historis. Yogyakarta:
Suka Press, 2021.
[1]Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka
Imam Syafie, 2005). Jil 7. 600.
[2]Sayyid Quṭb, Tafsir fi
zhilalil Qur’an: dibawah naungan Al-Quran (Jakarta: Gema Insani Press, 2000). 96.
[3]Abdul Karim
Amrullah, Tafsir Al-Azhar (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd Singapura,
n.d.). 7035-7037.
[4]Amrullah.
7073
[5]Amrullah.
7079
[6]Mun’im Sirry, Rekonstruksi
Islam Historis (Yogyakarta: Suka Press, 2021).
246.
[7]Sirry. 246
[8]Sirry. 247
[9]Sirry. 243