Mengenal Simone De Beauvoir, Pejuang Feminis yang Teralienasi

Oleh, Nur Annisa Fitria

Simone De Beauvior adalah seorang ahli filsafat perempuan yang berasal dari Prancis dan merupakan tokoh feminisme modern pada abad ke-20-an. Ia memanifestasikan beberapa gagasan filosofisnya melalui media nonkonvensional, seperti; sandiwara, roman dan sebagainya. Simone adalah anak perempuan tertua dari salah satu keluarga borjuis di Prancis. Pada tahun 1929 ia mengikuti kursus di Ecole Normale Superieure untuk melakukan ujian agregasi filsafat. Ia bertemu salah satu tokoh disana yang sefrekuensi dengan eksistensinya, yaitu Jean Paul Sartre yang kemudian menjadi partner seumur hidup tetapi tanpa ikatan khusus. Simone dapat dikatakan sebagai seorang filosof yang pemikirannya kental dengan nada feminis. Selain itu, ia juga seorang novelis, komentator politik dan juga aktivis politik. Sehingga kecakapan pemikiran filsafatnya mengantarkannya menjadi seorang intelek.

Adapun term Alienasi merupakan konsep sosiologis untuk memaparkan fenomena yang berkesinambungan dengan hubungan buruh dan kapitalisme, yang menjadi konsep dasar bahwa divison of labor (pembagian kerja) adalah sumber dari alienasi. Pengonstruksian hal tersebut oleh masyarakat merupakan sumber alienasi bagi perempuan, sehingga dapat dikatakan bahwa keterasingan ini telah merasuk pada institusi termasuk agama, ekonomi bahkan negara. Sampai saat ini perempuan menjadi pokok pembicaraan yang teralienasikan di berbagai aspek. Selain itu ada beberapa perspektif yang berpemikiran jahat pada pergerakan perempuan dan keperempuanan. Hal tersebut bersifat umum karena sejak dulu terdapat argumen orang sekitar bahwasanya perempuan hanya pantas bergerak pada bidang rumah tangga dan secara esensial tidak membutuhkan profesi.

Simone memiliki pandangan, bahwasanya masyarakat dikategorikan berdasarkan asumsi bahwa laki-laki adalah self dan perempuan adalah other. Ironisnya perempuan dirugikan karena mereka menempati posisi kedua setelah kaum laki-laki. Dapat dikatakan sebagai pemikiran mendasar bahwa self selalu memperlakukan other sebagai pelengkap bagi dirinya, dengan kata lain other selalu menjadi objek entah secara sadar atau tidak. Peninjauan lanjutan dari gagasan tersebut bahwasnaya kategori perempuan sebagai other bukan terhadap laki-laki saja tetapi terhadap perempuan itu sendiri. Karena ketertindasan perempuan disebabkan oleh persoalan subjektivitas dimana perempuan melihat dan menilai dirinya sebagai objek. Dengan demikian laki-laki memvalidasi dirinya sebagai jati diri dan perempuan sebagai yang lain atau laki-laki sebagai subjek dan perempuan sebagai objek.

Simone De Beauvoir mengilustrasikan perempuan dengan beberapa hal yang menjadi prinsip pemikirannya, dimana perempuan telah sedari awal mendapatkan perlakuan yang tertindas disebabkan oleh takdir. Berdasarkan ilustrasi tersebut dapat ditinjau bahwa perempuan sangat sederhana yakni tidak lebih dari sebuah rahim, indung telur, dan juga seorang betina. Hal-hal tersebut sangat cukup untuk mengidentifikasikan seorang perempuan. Kata “betina” saat diucapkan oleh seorang laki-laki merupakan sebuah penghinaan secara falsifikasi. Sedangkan ia merasa bangga jika orang lain menjulukinya sebagai jantan. Istilah betina tampak begitu melecehkan karena hal tersebut menegaskan kebinatangan perempuan, tetapi karena istilah tersebut justru menjuramkan dalam jenis kelaminnya.

Feminisme Eksistensialis merupakan salah satu perspektif yang terkenal dari Simone, dan menjadi acuan dalam pendekatan hermeneutik filosofis yang melahirkan berbagai perspektif, baik dari segi biologis, sosial-historis, ekonomi, psikoanalisis dan masing-masing melahirkan deskripsi yang berbeda tentang perempuan. Terlepas dari beberapa deskripsi tersebut, kini perempuan identik menjadi inferior dan laki-laki berada pada posisi superior. Pada buku karangan Simone yang sangat populer yakni “The Second Sex” tahun 1949, terdapat asumsi tentang kondisi perempuan yang mengarah pada pembebasan perempuan dari belenggunya. Bahwa dengan melihat hubungan antara laki-laki dan perempuan dapat diasumsikan sebagai konsep yang dialektis serta peletakan asumsinya berdasarkan sistem biner atau self dan other.

Perempuan Merdeka Perspektif Simone De Beauvoir

Awal mulanya, Simone memiliki anggapan bahwa tidak ada manusia yang dilahirkan sebagai perempuan, karena proses yang dilalui bukan pada konsep biologis, psikologis atau konsep ekonomi yang yang menjadi acuan sebagai sosok perempuan yang ada dalam masyarakat. Ditinjau dari hal tersebut Simone menolak bahwa perempuan berada di status sosial yang titik vibrasinya rendah, hanya karena perempuan tidak memiliki penis dan perempuan lebih menginginkan keuntungan psikologis dan material yang diperoleh dari kaum laki-laki, lalu perempuan menjadi inferior bukan karena tidak sempurnanya struktur anatomi, melainkan karena perempuah tidak memiliki hak atas kekuasaan.

Simone juga menolak mengenai inferioritas perempuan yang menjadi akibat adanya pembagian kerja yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja diluar rumah serta mengimprovisasi perkembangan dirinya, sedangkan perempuan melaksanakan tugas domestik seperti memasak, mengurus anak dan sebagainya. Justru pembagian tersebut membuat laki-laki dapat menguasai alat-alat produksi sehingga menjadi borjuis, sedangkan perempuan menjadi kaum yang proletar. Defini lain mengenai inferioritas terhadap perempuan adalah dengan memandang laki-laki sebagai subjek yang mampu mempertaruhkan nyawa dalam peperangan, sehingga laki-laki menjuluki perempuan sebagai objek yang hanya mampu memberi kebutuhan hidupnya.

Doktrin yang menjadi akar tumbuhnya penindasan perempuan adalah kehidupan masyarakat yang menggunakan konsep patriarki. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan selalu menduduki posisi inferior. Dunia perempuan akan selalu dikategorikan ke dalam dunia laki-laki sebagai bukti penguasaan laki-laki terhadap perempuan. Dalam masyarakat tersebut perempuan terkadang tidak memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga memicu terjadinya kelompok yang termarginalkan. Simone menganggap bahwa kedudukan inferior perempuan ini bukan merupakan hakikat atau bawaan sejak lahir, melainkan mereka menjadi inferior karena adanya struktur kekuasaan masyarakat yang berada di tangan laki-laki.

Terkait kondisi perempuan yang disebut other oleh kaum laki-laki yang memiliki kendali dan kuasa penuh atas kehendaknya. Selain itu, Simone menyatakan bahwa posisi perempuan yang dianggap tidak esensial dan selalu dijadikan objek oleh laki-laki merupakan persoalan feminisme eksistensialis. Hal ini dimulai dengan memahami definisi transenden dan imanen yang identik dengan ruang lingkup aktivitas perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap menempati ruang imanen karena lingkup aktivitas perempuan hanya berkisar di ruang privat, seperti mengerjakan pekerjaan rumah. Sedangkan laki-laki menempati ruang transenden, seperti merencanakan, mengatur, dan bekerja di sektor publik. Sehingga perempuan dianggap pasif sementara laki-laki dianggap aktif.

Peran perempuan sebagai istri merupakan penghalang kebebasan. Percaya atau tidak, jika laki-laki dan perempuan menjalin hubungan cinta yang dalam dengan melakukan sebuah pernikahan maka hal tersebut dapat mengaburkan hubungan mereka, karena adanya hak dan kewajiban antara keduanya. Pernikahan memicu adanya perasaan perempuan tentang banyaknya tuntutan untuk menjalankan kewajiban daripada hak mereka. Meskipun pernikahan dianggap merupakan suatu bentuk perbudakan, perempuan berhak mendapatkan sejumlah kekayaan yang diberikan di dunia, jaminan-jaminan sah yang melindungi perempuan dari tindakan merugikan oleh laki-laki. Perempuan sah manyandang namanya, masuk dalam agama yang dianut serta bergabung di kelas lingkungannya. Dalam keluarga ia menjadi bagian di dalamnya dan mengikuti ke mana pun panggilan tugas suaminya, sedikit banyak ia memutuskan masa lalunya secara mutlak dan bergabung dengan dunia suaminya dengan memberikan kesetiaan yang kuat.

Pernikahan bagi perempuan tidak lebih sekedar sesuatu “kehidupan mewah tanpa ambisi, keinginan, melewati hari demi hari tanpa tujuan yang berjalan menuju kematian atau kehancuran”. Pernikahan bagi perempuan merupakan suatu bentuk pertimbangan untuk memenuhi kepuasaan hati, ketenangan, dan rasa aman. Tetapi pada kenyataannya, justru pernikahan telah merenggut kesempatan perempuan untuk menjadi orang yang besar dan sukses. Sebagai kontekstualisasi pengganti kebebasan, perempuan diberikan hak “kebahagiaan”. Jika kebebasan tersebut di nilai benar, seperti yang sudah dikatakan Sartre dalam bukunya Being and Nothingness bahwa tidak ada satupun alasan untuk tidak bebas, karena ketika ia mencoba mengingkari kodrat kebebasan maka ia masih tetap bebas mengingkarinya.

Proses menuju hak untuk mendapatkan kebebasan bagi kaum eksistensialis adalah dengan jalan yang berliku-liku. Kebebasan menjadi daya munculnya justifikasi nilai-nilai, seperti yang sudah dijelaskan Simone “Kebebasan merupakan sumber dari lahirnya semua yang signifikan dan ternilai.” Manusia berpotensi untuk hidup agar mendapatkan keinginan kebebasan itu sendiri secara absolut dan di atas segala sesuatu yang lain. Hal inilah yang menjadi kondisi orisinal dari setiap eksistensi penilaian, artinya manusia adalah benar-benar bebas dengan tujuan membuat suatu penilaian terkait apa saja dan bukan terpacu pada nilai yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat sebelumnya. Bebas disini mengandung makna kebebasan menyeluruh yang berkesinambungan dengan pribadi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek, melainkan kebebasan ini mencakup seluruh eksistensi manusia.

Kebebasan yang berkesinambungan dengan kenyataan adalah bahwa manusia makhluk yang memiliki rasio, ia dapat berpikir dan bertindak. Ketika manusia bertindak bebas maka ia tahu apa yang diperbuatnya dan apa yang menjadi sebab dari perbuatan tersebut. Berangkat dari kebebasan ini dapat memberikan suatu makna pada perbuatannya, sehingga manusia memiliki kebebasan dalam menentukan suatu arah dalam kehidupannya. Namun, tidak dapat dibenarkan jika manusia begitu bebas namun tidak ada lagi kebebasan bagi orang lain. Dengan demikian, dapat ditarik simpulan bahwa yang dimaksud bebas adalah orang yang terlepas dari paksaan fisik, orang yang tidak dirampas hak-haknya, orang yang terlepas dari paksaan moral, orang yang terlepas dari tekanan batin atau psikis dan orang yang terlepas dari inotentisitas dan keterasingan. Hal ini menjadi titik acuan pembatasan dengan adanya konsekuensi dalam bidang moralitas, inilah yang menjadi konsep utama mengapa perlu adanya tatanan moral diantara manusia. Mengenai pembatasan tersebut yakni membatasi kehendak di luar kemauannya tetapi hal ini justru harus membatasi dirinya sendiri, artinya dengan mengakui kebebasan orang lain berarti secara absolut telah menghormati hak-hak mereka.

Bentuk Perjuangan Feminisme Eksistensialisme di Ranah Teralienasi

Feminisme merupakan jalan menuju kebebasan perempuan dan dapat diraih dengan dua konsep, yaitu konsep idealis dan konsep praktis. Feminisme eksistensial adalah akar dari feminisme postmodern dan menjadi populer dalam karya filsuf Prancis, Simone De Beavoir. Kata exist jika diuraikan, ex artinya keluar dan sistere adalah berdiri. Bahwasanya eksistensi berdiri yakni keluar dari diri sendiri. Beberapa gagasan Simone dalam perempuan yang teralienasi diantaranya, pertama The Others yang mengasumsikan perempuan mempunyai kesadaran terkait dirinya sendiri sebagai liyan, pada konsep ini Simone menyatakan hubungan antara laki-laki dan perempuan terdapat konflik subjek dan objek. Laki-laki menganggap dirinya subjek dan perempuan dianggap sebagai objek. Kedua, kebebasan. Perempuan memiliki hak atas kebebasan (otonom) seperti manusia yang lainnya. Ketika perempuan mulai eksis maka ia dapat menciptakan kebebasan dan dengan kebebasan tersebut dapat merancang dan menentukan jalan hidupnya, termasuk mengambil keputusan.

Simone juga mengangkat feminisme eksistensial dengan menggunakan konsep transendensi, yang merupakan ide mengenai kelampauan. Terdapat empat ide transendensi yang dapat diaplikasikan. Pertama, perempuan lebih dapat bekerja meskipun dalam prosesnya sangat melelahkan dan banyak hambatan. Kedua, perempuan dapat menjadi seorang intelek dalam artian bisa menjadi seorang yang memelopori emansipasi perempuan dan bukan hanya pada laki-laki saja, melainkan memiliki kesempatan yang sama. Ketiga, perempuan dapat bekerja untuk mencapai bentuk transformasi sosialis, yang mana masyarakat dapat meyakini bahwa kunci kebebasan kaum perempuan adalah kekuatan ekonomi (mandiri finansial). Artinya jika perempuan dapat independent secara finansial ia akan memiliki rasa percaya diri dan tidak menjadi makhluk yang ketergantungan sekaligus bisa membantu pemulihan ekonomi perempuan lainnya. Keempat, perempuan dapat menolak keliyanannya dengan mengidentifikasikan diri melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat. 

Gagasan Simone lainnya adalah cara perempuan untuk menjadi diri sendiri dalam golongan masyarakat adalah dengan membebaskan diri dari tubuhnya, salah satunya dengan menolak untuk menghabiskan waktunya dengan mempercantik diri yang hanya untuk membuat laki-laki merasa terpuaskan. Dengan demikian, perempuan sendiri yang harus melakukan perubahan pembebasan dari doktrin belenggu budaya patriarki. Simone juga mengatakan jika selama ini perempuan tidak hanya dilahirkan sebagai perempuan tetapi menjadi perempuan.

Tujuan dari feminisme eksistensialis adalah menyadarkan kaum perempuan agar dapat menentukan keberadaannya sebagai seorang yang autentik dan menyadarkan laki-laki bahwa perempuan sama dengan laki-laki. Perempuan merupakan subjek daripada objek, perempuan ada pada dirinya. Maka dari itu tidak hanya laki-laki tapi perempuan juga bebas dan memiliki kebebasan untuk meraih kesempatan dalam menggapai cita-citanya. Berangkat dari hal tersebut bahwa laki-laki tidak punya hak untuk memotong kesempatan serta hak perempuan. Selain itu juga terdapat pembebaasan hak perempuan hanya dapat dicapai dengan cara penghapusan lembaga yang melestarikan hasrat laki-laki guna menguasai perempuan.

Kunci dari kebebasan perempuan adalah ekonomi dan salah satu yang dapat ditekankan adalah tentang kemandirian perempuan. Simone juga mengingatkan para perempuan bahwa nasib mereka tergantung dari usaha mereka sendiri. kemerdekaan perempuan memang dibatasi tetapi sejauh mana mereka mampu untuk memperjuangkannya. Jika mereka mau, mereka bisa memiliki hak kemerdekaan. Para perempuan juga harus turut berjuang untuk membentuk masyarakat yang bisa mendukung usaha mereka untuk mengurangi keterbatasan pada diri seorang perempuan. Dengan demikian, untuk mengatasi segala pembatasan para perempuan bersikeras menolak segala keterbatasan itu dan berusaha menyamakan kedudukan mereka di dalam masyarakat yang paling dominan. Sehingga dapat dikatakan bahwa untuk dapat diterima oleh kaum laki-laki maka perempuan harus menerima takdir sebagai subjek.

Ditinjau dari segi teologi feminis terdapat dua kutub aliran dalam mengartikan pengalaman perempuan, yaitu pengalaman perempuan feminis (women’s feminist experience) dan pengalaman perempuan tradisional (women’s traditional experience). Aliran pertama membicarakan tentang pengalaman pembebasan itu sendiri dengan melawan penindasan, budaya dan lembaga seksis serta bergerak menuju kemerdekaan bagi perempuan. Nilai positif yang diperoleh adalah untuk membuat perempuan mampu menggalang solidaritas dengan kelompok tertindas lainnya.

Aliran kedua yakni berbicara mengenai soal pernikahan dan keibuan dalam diri perempuan atau disebut juga women’s body experience. Terkait isu-isu yang dibahas dalam aliran ini meliputi menstruasi, kehamilan, masa menyusui anak atau masa laktasi, berhenti menstruasi atau menopause dan mengasosiasikan perempuan tradisional dengan alam. Bahkan para teolog juga telah sepakat bahwa aliran yang menempatkan women’s body experience dan feminine dalam sebuah visi holistik feminis, yang bertujuan untuk membebaskan perempuan yang teralienasi selama ini dalam budaya dan teologi laki-laki.

Kontekstualisasi Perjuangan Feminisme Eksistensialisme pada Era Modern

Sebenarnya tidak ada manusia yang tidak tahu apa itu hak kebebasan, karena kebebasan merupakan kenyataan yang akrab dengan kita. Dalam kehidupan, kebebasan adalah suatu unsur yang hakiki, namun begitu kebebasan bagi manusia memiliki batasan-batasan seperti yang diungkapan oleh Simone “Kebebasan manusia tidak terbatas tetapi kekuasaannya untuk mencapai kebebasanlah yang terbatas. Sehingga keterbatasan yang hanya tertarik dalam menolak kebebasan harus ditolak. Kebebasan manusia lain sebagai orang yang merdeka menentukan kondisi dan bahkan kondisi itu dari kebebasanku”.

Berdasarkan kutipan diatas terdapat beberapa hal bahwa hanya manusia yang dapat menjadi musuh manusia. hanya mereka yang dapat merampas makna dari segala tindakan dan kehidupan mereka, lalu dia sendiri yang dapat memahami sebagai sebuah kebebasan yang sesungguhnya. Apabila perempuan ingin sepenuhnya mewujudkan feminisme, berarti ia juga ingin bertemu lawan jenis dengan bentuk rintangan yang seringan mungkin. Namun, masalah yang paling sulit terjadi adalah di bidang seks yang mana untuk menjadi individu yang utuh, mewujudkan kesetaraan dengan laki-laki perempuan harus memiliki akses ke dunia maskulin seperti halnya laki-laki ke dunia feminin.

Pada masa sekarang tidak dapat dipungkiri ketika seorang perempuan dapat berada pada jenjang pernikahan, pandangan bagi seorang laki-laki akan terlihat alami bahwa seharusnya istri lah yang melakukan pekerjaan rumah. Tetapi dengan perempuan yang independent menganggap bahwa dalam pernikahan ia telah mendapati tugas dari kehidupan pribadinya yang membuat tidak nyaman. Karena ia tidak ingin merasa bahwa suaminya kehilangan kesenangan yang ia peroleh jika ia menikahi “perempuan yang tepat”, ia ingin menjadi penurut, pengurus rumah yang baik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pernikahan telah menjadi budak bagi pemilik kekuasaan serta singgasana dalam rumah tangga, yakni laki-laki. Sedangkan perempuan harus pasrah untuk mengemban segala beban ataupun amanah layaknya masyarakat primitif.

Ditinjau dari penjelasan tersebut, jika ditelaah bahwasanya suami memiliki peran penindasan secara alamiah, sehingga istri yang dapat menjadi korban mereka. Tetapi jika keduanya mampu melawan hak atas kebebasannya akan menimbulkan hubungan timbal balik, terkadang dalam permusuhan, terkadang dalam persahabatan, keharmonisan dan selalu dalam suasana tegang. Seandainya salah satu dari kedua jenis kelamin diistimewakan, diuntungkan, maka yang satu ini akan berada diatas yang lainnya dan berusaha tetap menguasainya.

DAFTAR PUSTAKA

“Existentialism,” Stanford Encyclopedia of Phylosophy. Stanford U. 11 Oct. 2010. Web. 20 Oct. 2010.

Beauvoir, S. de. (2003). The Second Sex: Fakta dan Mitos. Diterjemahkan oleh Toni B.   Febrianto. Surabaya: Pustaka Promothea.

Jackson, S., & Jones J. (2009). Teori-Teori Feminis Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra.

Apsanti, D. (2003). Wanita dan Kesetaraan Perancis. Magelang: Indonesiatera.

Lie, S. (2005). Pembebasan Tubuh Perempuan: Gugatan Etis Simone de Beauvoir Terhadap            Budaya Patriarki. Jakarta: PT Grasiondo.

Arivia, G. (2003). Filsafat Berperspektif Perempuan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Beauvoir, S. de. (2016). Second Sex: Kehidupan Perempuan. Yogyakarta: Narasi
Previous Post Next Post

Contact Form