Oleh: Dimas Pujo Asmoro
Dzu al-Nun al-Mishri merupakan tokoh sufi abad
ketiga Hijriyah yang berperan sebagai peletak dasar teori Ma’rifat. Dia adalah salah satu orang Mesir pertama yang mengulas
tentang ahwal serta maqamat para wali ataupun Sufi. Abdurahman al-Jami’ dalam Nafahat
al-Uns menyebut al-Mishri sebagai tokoh sufi yang menjadi panutan bagi
banyak sufi sesudahnya.
Tulisan ini mengulas perihal posisi dan
sumbangsih Dzu al-Nun al-Mishri bagi dunia tasawuf. Secara ringkas, menurut Dzu al-Nun al-Mishri ma’rifah merupakan
pengetahuan serta penglihatan tertinggi yang bisa dicapai seseorang mengenai
Tuhan.
Oleh al-Mishri ma’rifah dideskripsikan sebagai proses pencarian tiada akhir, karena semakin dekat
seorang sufi dengan Tuhan, maka ia akan semakin terdorong untuk lebih mengenal
Tuhannya. Lalu, semakin kenal seorang sufi dengan Tuhannya maka
hal tersebut akan berdampak pada kualitas ibadah, akhlak dan moralnya dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam pemikirannya,
al-Mishri membedakan antara ma’rifah dan ‘ilm. Ma’rifah
berkaitan dengan pengalaman langsung yang menghasilkan kondisi istimewa pada
seorang sufi, seperti mukashafah atau pengalaman spiritual
lainnya. Sedangkan ‘ilm bersifat lebih umum yang berarti usaha pencarian manusia terhadap pengetahuan, baik itu bersifat
naqli maupun aqli.
Kemudian, menurut mereka ilmu itu bisa digapai
melalui jalur riwayah maupun perenungan (dirayah) terhadap hakikat-hakikat yang
tetap (al- Haqa’iq al-Thabitah). Selain cara tersebut, pengetahuan juga
bisa dicapai melalui pengalaman (al-tajribah), alatnya merupakan
bashirah, qalb, wujdan serta seluruh lafazh yang memiliki makna yang tidak
memerlukan perenungan-perenungan teoritis ataupun penelitian-penelitian logika
yang mendalam.
Dalam Tasawuf, al-Mishri merupakan sufi awal
yang meletakkan dasar
teori ma’rifat
secara terperinci. Ia juga merupakan
sufi awal yang membedakan antara ma’rifah
seorang sufi kepada Allah dengan ma’rifah
yang hanya melalui perantaraan ide. Baginya, ma’rifah yang hakiki
dihasilkan melalui penglihatan hati.
Asumsi dasar dari teori ini, ma’rifah merupakan
fitrah yang tertanam dalam hati semenjak azali. Dia merupakan jalinan (shilah) sinar batin di dalam hati yang menghubungkan
seorang hamba dengan Allah. Sehingga untuk mencapai ma’rifah, seorang hamba
perlu melatih dan membersihkan shilah ini dengan berbagai riyadhah
ruhaniyyah sehingga bisa ma’rifat kepada Allah.
Dalam pemikiran Dzu al-Nun al-Mishri, ma’rifah
yang hakiki merupakan pengetahuan tentang sifat-sifat kekesaan Allah yang cuma
dipunyai oleh para kekasih Allah, sebab mereka ‘melihat’ Allah secara langsung
dengan hati nurani mereka. Dengan itu, mereka bisa memahami hal-hal yang pada umumnya tidak diketahui oleh
hamba-hamba Allah yang lain.
Selanjutnya, ma’rifat
itu terbagi kepada tingkatan. Pertama, ma’rifah
tauhid yang dipunyai oleh tiap mukmin (awam). Kedua,
ma’rifah dengan hujjah serta bayan yang dimiliki oleh para ulama,
filosof serta sastrawan. Ketiga, ma’rifat tentang sifat-sifat keesaan Tuhan yang hanya dicapai oleh
para wali (Sufi) yang memandang tuhan dengan hati nurani mereka.
Dalam perspektif al-Mishri, dua tingkatan yang pertama bukanlah merupakan ma’rifat, melainkan masih pada tahap ‘ilm. Karena, seperti telah dijelaskan sebelumnya keadaan ma’rifat merupakan keadaan di mana seorang hamba mampu ‘melihat’ Allah dengan hati nurani mereka melalui jalur mukasyafah. Sehingga ma’rifat itu datang dari taufiq yang Allah berikan kepada seorang hamba, bukan atas dasar usaha hamba itu sendiri.
Hal ini dikuatkan
dengan pernyataan
Al-Mishri yang pernah ditanya bagaimana caranya mendapatkan
ma’rifah tentang Tuhan, lalu ia menjawab: “Saya mengenali Tuhan dengan Tuhan, seandainya
bukan sebab Tuhan, saya
tidak hendak mengenali Tuhan”.
Dalam perjalanan spiritual mencapai ma’rifat
ini, seorang salik mesti melalui beberapa fase, yaitu, perasaan bimbang (Tahayyur),
setelah itu perasaan memerlukan (Iftiqar), setelah itu komunikasi (Ittishal),
setelah itu perasaan bimbang (Tahayyur) lagi. Artinya, proses mencapai
ma’rifat adalah proses yang tidak mengenal henti dan terus menerus berputar
mengulangi fase-fase tersebut.
Dzun Nun juga cenderung mengaitkan ma’rifah
dengan syari’ah, seperti tergambar dalam ungkapannya: “Ciri seseorang arif itu
terdapat 3: sinar ma’rifahnya tidak memudarkan sinar kewara’annya, secara
bathin tidak meyakini ilmu yang membatalkan hukum lahiriah, serta banyaknya
karunia Allah tidak menjadikannya menembus batas-batas larangan-Nya. Lebih jauh
lagi, seseorang arif hendak terus menjadi khusyu’ tiap kali pengenalannya terhadap Allah bertambah.
Kala ditanya tentang hakikat kesempurnaan ide
serta ma’rifah Dzun Nun mengatakan: “Bila engkau melakukan apa yang
diperintahkan serta meninggalkan apa yang dilarang berarti engkau sudah hingga
kepada kesempurnaan ide. Serta bila engkau tergantung kepada Allah serta tidak
terlena oleh kondisi serta pekerjaanmu berarti engkau sudah menggapai
kesempurnaan ma’rifah kepada Tuhan.”
Seorang ahli ma’rifat adalah mereka yang selalu
‘bersama’ dalam seluruh keadaan, menjalankan segala perintahNya, menjauhi semua
laranganNya serta senantiasa mempertautkan hati dan seluruh anggota tubuhnya
kepada Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Abu al-Wafa al-Ghanimi Al-Taftazani, Al-Madkhal Ila al-Tasawwuf al-Islami, (Bandung: Pustaka, 1997),
Abu al-Qasim Al-Qusyairi, Al-Risalah fi ,,Ilm alTasawwuf, (Dar al-Khair, Beirut, 1991),
Al-Kalabadzi, Al-Ta‟arruf li Mazhabi ahl al-Tasawwuf. (Isa alBabi al-Halabi wa Syurakah, Kairo, 1960),
Al-Qusyairi, Al-Risalah fi „Ilm alTasawwuf, 1991
E.J.Brill, The Encyclopedia of Islam (Leiden, 1933),
Muhammad Syafiq Ghirbal, Al-Mausu‟ah Al Arabiyyah Al Musyassarah (Dar Ar Rasyad, Mesir,
Abd. Al Mur‟im Al-Hafani, Al Mausu‟ah Ash-Shufiyyah (Dar Ar-Rasyad, Kairo, 1992)
Abu Na‟im Ahmad bin Abdullah Al-Ashfihani, Hilatu Auliya‟ wa Thabaqat Al-Asyfiya‟ (Dar Al-Fikr),
Harun Nasution, Ensiklopedi Islam (PT. Ichtiar baru Van Hoeve, 1994)
Tags
Pemikiran Tokoh