Tiba-tiba Tuhan Datang


Oleh : Fahmi Ayatullah

Keyakinan agama yang dikondisikan, diajarkan untuk melihat realitas nilai-nilai dalam sosial, maupun kearifan kemanusiaan. Maka tentu keyakinan tersebut tidak terjadi dan muncul secara "tiba-tiba". Pengajaran yang didasarkan agama, seharusnya  melalui interaksi lingkungan dan interaksi intelektual.

Sebagian pandangan kelompok-kelompok agama memahami keyakinan agama terpaku pada suatu demonstraasi pemikiran dan selalu cenderung membungkam daya nalar kritis. Maka frase "tiba-tiba" adalah gambaran pemahaman orang terhadap keyakinan agama itu sendiri.

Pasalnya, fanatik merupakan salah satu sifat ekslusif (tertutup) di dalam agama, yang dimaksudkan sebagai wujud keberhambaan secara totalitas. Namun yang menjadi masalah, dalam fanatisme selalu disertai klaim dan tuduhan yang dibawa ke dalam ruang sosial dengan penuh perasaan dan pandangan yang beragam. Maka kerap kali pertikaian perasaan agama menjadi fenomena yang sering ditemukan. Antara pertikaian perasaan agama dan pertikaian pemahaman agama itu sendiri, nampaknya lebih menonjol pertikaian perasaan daripada pemahaman agama.

Di dalam lingkup sosial pun, orang-orang lebih banyak memilih belajar dari pondasi agama tentang hukum dan cenderung memilih tokoh agama yang didengarkan. Namun sangat disayangkan, orang-orang belajar dasar kepercayaan sebuah agama, tidak melulu mempertanyakan mengapa tata shalat yang diajarkan bentuknya demikian, dan tidak mempertanyakan bagaimana memilih tokoh agama tertentu degan dalil dalil dan pesan-pesan agama sami’na wa atha’na. Namun cenderung anti terhadap penyampaian tokoh agama lain yang juga tingkat keilmuanya tidak bisa diragukan lagi.

Melihat orang lain dengan tata cara shalat yang berbeda, pemahaman agama yang berbeda dan cara pandang. Perbedaan inilah yang akan dibawa setidak-tidaknya ada sejak dalam pondasi pikiran, hingga tahap yang paling ekstrim seperti perilaku intoleran, radikal, dan anarkis.

Agama yang didekati dengan cara dogmatis ini cenderung membuat orang gampang menilai dan menyudutkan keyakinan yang berbeda, yang paling berbahaya adalah membuat orang menyerang martabat orang lain yang berbeda pemahaman dengannya.

Maka kehadiran filsafat sebagai sikap yang memberikan ruang pengetahuan harus dibutuhkan dalam menyikapi problematika ini. Filsafat sebagai metodologi, berguna untuk memahami pesan-pesan agama. Bukan kehadirannya memfilsafati agama, tetapi ada beberapa hal di dalam agama yang bisa didekati dengan filsafat.

Melihat realitas orang yang mengajarkan agama dengan mempengaruhi orang lain untuk percaya Tuhan dengan cara yang simplistik transenden. Mensugesti secara psikologis dengan dalil-dalil dan tidak sedikit orang mudah terpesona dengan cara demikian. Tentu bukan kesalahan mutlak. Melihat itu pada satu kondisi di mana memahami sentuhan simplistik juga memang diperlukan namun tidak semua juga diperlukan. Kerena esensinya juga membutuhkan pertanggungjawaban dan sebagaimana menemukan mekanisme sosial yang tepat.

Satu kerancuan yang terjadi dalam fenomena kehidupan, ketika ada beberapa upaya mempertentangkan agama dan filsafat. Sebenarnya, bukan antara filsafat dan agama, tetapi orang beragama yang dogmatis dengan filsafat. Sangat sulit dibayangkan, bagaimana agama yang dicapai dengan kesadaran bisa bertentangan dengan cara untuk mencapai kesadaran itu.

Pertanyaannya adalah dari mana sumber pengetahuan manusia tentang Tuhan, apakah pengetahuan itu terjadi secara "tiba-tiba"?

Pasalnya, ruang pengetahuan tidak punya kemampuan dalam menyentuh kebenaran agama, maka akan ada orang yang mengajak kepada kebenaran, melainkan hanya memberikan dogmatisme, bukan kesadaran dalam beragama.

Di lain tempat, ada pula sejumlah orang hidup dengan aturan agama yang kaku dan mengkhatbahkannya demi pembenaran atas tindakan yang melanggar nilai kemanusiaan atas nama kemanusiaan dan agama itu sendiri. Membenarkan zina dengan banyak wanita pakai ayat suci, umpama. Menyingkirkan musuh dengan ancaman neraka, membenarkan malas dan lepas tangan dengan tawakal, memuja individualisme pakai ayat-ayat tentang "rahasia hati" hanya Tuhan yang tahu. Ayat-Nya diarak beramai-ramai bagai harimau sirkus. Yang begini, akan dipatahkan waktu. Sebab, motivasinya bukan agama yang sejati, tapi syahwat keji yang ditutupi. Penjahat yang kejam, bahkan pelawak pun pandai mengutip ayat suci.

Berpikir kritis terhadap agama diwajibkan Islam. Namun, berpikir kritis selalu dianggap kafir, sesat, murtad, tak beriman, bahaya. Sehingga agama-agama dan para pemukanya yang tak punya integritas jadi hebat mengklaim kebenaran, arogan, dan kaya raya. Sedang para pengikutnya tetap miskin, dimiskinkan, dilarang berpikir: harus patuh! Titik. Agama pun mencabut manusia dari kodratnya sebagai makhluk berpikir.

Islam mengajarkan sabar dan tidak mudah tersinggung pada siapa pun yang tak percaya (QS. 30:60). Tak menciptakan benci dan sakit hati. Yang menciptakan benci dan sakit hati, jelas bukan Islam. Mudah saja melihatnya dalam kenyataan.

topi saya bundar
bundar topi saya
kalau tidak bundar
bukan topi
 
Cukup mudah untuk mendeteksi "topi saya" itu, bukan?
 
Wallahu a'lam bi al-shawab
Previous Post Next Post

Contact Form