Oleh:
Kurnia Putra Prakoso
Pengertian
dari intuisi adalah kemampuan untuk mengetahui atau memahami sesuatu tanpa
memikirkan atau menelitinya. Intuisi disebut juga bisikan hati (khathrah) atau
dorongan hati (idrakul qalbi). Khathrah adalah dorongan tiba-tiba untuk
melakukan atau memilih sesuatu. Dengan kata lain, bisikan hati tidak
terpengaruh oleh hal-hal yang sudah dipikirkan sebelumnya. Bisikan
hati muncul begitu saja dan tidak bisa bertahan lama, ia menghilang ketika
bisikan baru datang dari hati. Dalam hal ini, beberapa pendahulu mengira bahwa
gumaman hati yang sebenarnya adalah yang pertama kali muncul. Sedangkan idrakul
qalbi mengungkapkan makna yang tersembunyi dengan mengikuti petunjuk Tuhan yang
Dia jelaskan melalui tanda, simbol, atau kode yang hanya dipahami oleh hati.
Tasawuf
sebagai sarana untuk memperoleh ilmu dan kebenaran, dalam epistemologis justru
lebih menekankan pada sarana intuisi, atau secara teknis disebut dzauq
atau wijdan, dan menggunakan qalb untuk sarananya. Jika
intuisi dimaknai sebagai sumber kebenaran dan pengetahuan. Maka dalam tasawuf, untuk
memperoleh itu semua tidak terjadi dengan tiba-tiba, melainkan harus melalui
proses yang cukup panjang, dan disebut dengan
mujahadah dan riyadlah, dengan tafakur dan tadabbur.
Proses-proses di atas adalah usaha menuju proses pencerahan batin (qalb) untuk
mendapatkan ilmu dan kebenaran (mukasyafah).
Sebagai
contoh dalam sejarah Islam, ada seorang tokoh yang terkenal karena berhasil
memadukan keduanya. Beliau adalah Al-Ghazali. Al-Ghazali dapat menggunakan
wawasannya dengan menggabungkan intuisi (tasawuf) dengan akal (intelektualisme)
yang menjadi topik perdebatan oleh beberapa kalangan. Karya-karyanya
banyak mencakup berbagai bidang antara lain:
filsafat, tasawuf, teologi, logika, fiqh, ushul fiqh dll. Melihat dari
banyaknya bidang yang dikuasai, maka dapat dipastikan jika al-Ghazali bisa
dianggap sebagai seorang filsuf, sufi, teolog, ahli mantiq, ahli faqih dll.
Tentu
ada cara untuk mengasah intuisi agar lebih optimal. Sebagai manusia, kita
seharusnya memiliki lima hal yang harus diasah, yaitu: pengetahuan, cinta,
keadilan, pengabdian, dan kesabaran. Pengetahuan
secara tidak langsung pasti berhubungan dengan akal atau kecerdasan. Setiap
manusia pasti dikaruniai akal. Hal ini yang mebedakan manusia dengan hewan, karena
dengan kecerdasan, kita bisa membedakan antara sesuatu yang salah dengan yang
benar, baik dan buruk. Namun
hal itu tetap tidak akan berguna jika kita tidak bisa menggunakan energi dari
kecerdasan dengan baik. Terdapat tiga energi dari kecerdasan manusia, yaitu:
kecerdasan rasional, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
Cinta
adalah salah satu anugerah dari Allah SWT. Kandungan dari cinta ini berisis
tentang sifat kelembutan, rahmat, dan keindahan. Jika kita ingin mendalami
tentang sesuatu atau beberapa bidang, baik itu bidang akademis maupun tidak. Maka
kita harus mencintai terlebih dahulu bidang tersebut. Kita
tidak mungkin bisa menguasai bidang apa pun jika kita tidak berusaha
mencintainya dahulu. Belajar tanpa cinta akan mengarah pada pemahaman yang
dangkal, karena penguasaan sejati dimulai dengan cinta.
Prinsip
dasar keadilan adalah keseimbangan, persamaan, dan jalan tengah. Inti
terpenting untuk kebenaran adalah mengetahui kemampuan diri kita dan
mencocokkan hati kita dengan tindakan kita. Jika
kita senantiasa berbuat adil, maka kita adalah orang yang selalu menghargai
nafsu dari dalam diri sendiri ketika melakukan sesuatu yang disukai atau
dibencinya. Sebaliknya, orang yang jauh dari keadilan adalah orang yang tidak
menjaga nafsunya.
Salah
satu hal yang harus diperhatikan mengenai Allah SWT adalah bagaimana kita
menyembah kepadanya. Hal ini sangat Penting karena berkaitan dengan cara
berpikir dan pemahaman kita tentang mengenai Allah. Menyembah dapat diartikan
sebagai mengabdi, mengabdi dengan melakukan berbagai bentuk menaati perintah
adalah bukti bahwa kita benar-benar mencintai.
Untuk
mencapai titik kesabaran memang tidak mudah untuk dilakukan bagi manusia. Jika
kita melakukan sesuatu tidak dibarengi dengan kesabaran, maka kita tidak
melakukannya dengan baik. Oleh karena itu, tanpa adanya kesabaran, kita tidak
bisa melakukan sesuatu dengan maksimal. Tidak ada
satu hal pun yang akan berhasil jika tidak melakukannya dengan sabar. Kesabaran
merupakan tingkatan yang tinggi bagi seorang mukmin karena semua hal di dunia
maupun akhirat diselesaikan olehnya.