Saat-saat Indah Bersama Tuhan


Oleh: Devi Rofidah Celine
Sejak engkau dilahirkan ke dunia
Telah disiapkan bagimu sebuah tangga
Agar dapat mendaki langit
(Diwan Syamsi Tabris)
Mungkin hidup hanya untuk menunggu kapan akan jatuh, tetapi hidup juga memberi kesempatan untuk kembali bangkit. Bahwa hidup adalah soal jatuh bangun sendirian. Apapun yang membuatmu sebegitu hancur, apa pun yang membuatmu menjadi tak berdaya, semoga kita tetap sanggup bertahan, meskipun di pelupuk matamu sudah hadir tangisan.

Banyak orang yang mencari saat-saat terindah. Dengan cara shopping, berlibur ke luar negeri, menikmati makanan yang mahal dan enak, mengunjungi tempat-tempat indah seperti bersantai di pinggir pantai menikmati debur ombak sambil menunggu matahari terbenam (sunset), mendaki gunung yang rela melewati berbagai rintangan jalan yang nanjak medan nan curam demi mecapai puncak sekaligus melihat matahari terbit (sunrise), itulah saat-saat momen yang indah, menikmati keindahan di atas awan yang berjalan indah. Apa yang didapatkan? demi saat-saat indah itu, mereka rela melakukan apa saja asalkan dapat menikmati waktu indah bersama orang yang kita cintai. Lalu bagaimana dengan Tuhan Sang Pencipta? Adakah waktu yang dikhususkan untuk bersaman-Nya? Kebersamaan dengan Tuhan adalah adalah hal yang jauh lebih indah dari apapun itu.

Bagi orang yang paling beriman, momen terindah mereka ketika bepindahnya jiwa yang hina dan rendah menuju jiwa yang paling tinggi serta kembali ke hadirat Tuhan yaitu bertasawuf.

Hakikat tasawuf adalah dialog antara manusia dan Tuhan yang dilakukan dengan sadar. Dengan cara melalui proses yang intens, seorang hamba menemukan pengalaman ruhani yang sangat luar biasa nikmat dan indah, yang tak ditemui banyak orang dalam hidup mereka.

Abu Yazid al-Busthami (w. 261 H./874 M.), seorang sufi masyhur dari Baghdad. Dalam mimpinya, ia bertanya kepada Allah mengenai jalan yang harus ia tempuh agar bisa berjumpa dengan-Nya. Allah menjawab. “Tinggalkan dirimu dan datanglah (Da’ nafsaka wa ta’al).” Meninggalkan diri sendiri juga termasuk membebaskan diri dari segala kemauan dan datang menghadap untuk menyerahkan diri semata-mata hanya kepada kehendak Allah.

Seseorang yang beragama dengan baik dan tertib, bertutur santun, serta berperilaku mulia, apabila tidak diiringi dengan kehangatan dan spiritual yang ia rasakan, sesungguhnya ia belum sampai pada jalan tasawuf. Karena itu, ia juga belum bisa disebut sufi.

Tasawuf tidak hanya identik dengan ritual-ritual formal dan akhlak mulia saja, tetapi  juga identik dengan pengalaman ruhani yang didapatkan oleh seorang salik (penempuh jalan tasawuf). Dalam pemahaman tersebut muncul dari pandangan bahwa tasawuf tidak lepas dari dua sendi pokok: Pertama, melalui mubasyarah (langsung) eksperimen batin ini untuk menyambungkan antara hamba dengan Tuhan. Kedua, kemungkinan melalui ittihad (manunggaling kawula Gusti) dan wahdat al-wujud (kesatuan wujud) antara sufi dengan Allah.

Menurut al-Junaid ia berkata “Tasawuf adalah Allah mematikan engkau dari dirimu dan menghidupkanmu bersama-Nya.” Untuk itu, para sufi secara kreatif membuat sebuah “jalan spiritual” dalam berhubungan dengan Allah, kemudian jalan-jalan ini populer dengan sebutan maqamat (stations). Maqamat tidak bisa dipisahkan dari thariqah, dalam bahasa Indonesia disebut tarekat. Thariq berarti jalan (the way). Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai pada hakikat tujuan ibadah sebelum ia menempuh jalan ke arah itu. Thariqah yaitu jalan, cara, metode, dan sistem menuju Tuhan. Orang yang melakukan jalan ini disebut ahl al-thariqah atau salik.

Thariqah lebih mendekati seperangkat etika dan moral, pendidikan yang khusus tapi umum. Dikatakan khusus karena terikat pada pendidikan akhlak batin melalui cara tingkatan-tingkatan tertentu; maqamat dan ahwal. Umum dikarenakan belum merupakan sekte atau kekeluargaan tertentu.

Dalam melakukan proses maqamat, jiwa seorang sufi terbang melangit mengembara mencari dan menemukan apa haqiqat hidup, manusia dan Tuhan yang Maha Agung dan Indah. Saat yang sama juga, ia mengalami ahqal; meraih nikmatnya berada pada titik tinggi spiritual yang tak bisa digambarkan betapa indahnya. Puncak kenikmatan dan keindahan ruhani itu setiap para sufi memiliki nama-nama atau istilah tersendiri untuk melihatkan nikmat dan indahnya saat bertemu dengan Sang Kekasih. Menurut Abu Yazid disebut ittihad, al-Ghazali menyebutnya ma’rifat, Rabi’ah dan Jalaluddin Rumi menyebutnya dengan mahabbah. Walaupun penyebutan itu tidak sebanding dengan sejatinya pertemuan itu karena keterbatasan-keterbatasan (bahasa) manusia.
Previous Post Next Post

Contact Form