Oleh: Erika Putri Wulandari
Rabi’ah Al-Adawiyah merupakan sufi perempuan yang hidup ‘seadanya’, bahkan bisa dikatakan hidup dengan kemiskinan. Meskipun demikian ia berpegang teguh dengan prinsip nilai-nilai keagamaan yang diajarkan oleh ayahnya. Nama lengkapnya Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah, dia lahir di Basrah tahun 95 H./713-714 M. Rabi’ah Al-Adawiyah dimasa remajanya pernah menjadi seorang hamba sahaya bagi seorang tuan yang sangat kaya raya, sehinga dia berdoa kepada Allah SWT:
“Kalau dibebaskan Rabi’ah Al-Adawiyah bisa betul-betul mencintai
dan beribadah penuh kepada Allah SWT”.
Doa itu dikabulkan oleh Allah dan Rabi’ah Al-Adawiyah dibebaskan oleh tuannya. Meskipun demikian, sehari-harinya dipenuhi dengan usaha mencari jalan menggapai mahabbah cinta Ilahi.
Mahabbah di sini berarti mencintai Allah SWT dengan melakukan perintahnya dan meninggalkan larangannya dengan hati yang ridha dan ikhlas. Rabi’ah Al-Adawiyah melakukan tahap demi tahap yang sangat sulit untuk mencapai tingkat mahabbah ini. Menurutnya cinta yang sebenarnya ialah cinta yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Cinta itu artinya tidak lagi mengharapkan imbalan atau pamrih, artinya jika sudah sampai pada tingkat mahabbah dengan Allah SWT, maka ia tidak lagi mengharapkan surga, neraka, pahala, dan penghapusan dosa.
Rabi’ah Al-Adawiyah tidak menikah bukan karena tidak mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW, tetapi karena hatinya sudah dikuasai oleh rasa cintanya kepada Allah SWT, sehingga tidak terbesit cintanya terhadap manusia. Yang ada dihatinya cuma ada Allah dan Rasulnya. Salah satunya ia buktikan dengan bersholawat sebanyak 50.000 kali untuk membanggakan Rasullah kelak di hari kiamat di hadapan nabi-nabi dan rasul agar Rasullah tidak malu.
Pada kesempatan lain, Rabi’ah memaparkan dua berbagai pembagian cinta, selaku puncak dari pemikiran tasawufnya serta dinilai sudah menggapai tingkatan paling tinggi dalam konteks cinta. Pembagian cinta tersebut dimuat dalam lariknya berikut:
“Aku mencintai-Mu dengan dua macam cinta,
Cinta karena keinginanku dan cinta karena Engkau layak untuk
dicinta.
Adapun cinta karena keinginanku, kusibukkan diriku dengan
Senantiasa
mengingat-Mu, bukan selain-Mu.
Adapun cinta karena Engkau layak dicinta,
Engkau singkapkan hijab sehingga aku dapat melihat-Mu.
Namun, tak ada pujian dalam ini dan itu.
Segala puji hanyalah untuk-Mu dalam ini dan itu”.
Rabi’ah
Al-Adawiyah tenggelam
dalam mahabbah kepada Allah, seperti tertuang dalam bait syairnya berikut:
“Ya allah, kalau ada nikmat buatku didunia aku tidak butuh,
Serahkan semua sama musuh-musuhMu saja.
Kalau ada nikmat diakhirat aku tidak butuh,
Serahkan sama kekasih-kekasihMu Ya allah,
Kalau ibadahku karena aku ingin surga, tutup surga itu dariku.
Kalau ibadahku karena takut neraka, bakar aku didalam neraka.
Tetapi kalau ibadahku karena aku rindu kepadamu,
Jangan kau palingkan wajahmu dariku”.
Awalnya, Rabi’ah Al-Adawiyah
merupakan orang yang tidak mentaati Allah SWT, namun dalam perjalanannya ia
mendapatkan hidayah sehingga jadi sangat taat dan jatuh cinta kepada Allah SWT.
Dalam sejarah pertumbuhan Tasawuf, persoalan mahabbah ini ialah konsep baru di golongan para sufi kala itu. Gagasan yang ditawarkan oleh Rabi’ah tentang mahabbah dan cinta bisa ditemui dari bait-baitnya. Pada suatu saat, Rabi’ah pernah ditanya soal pendapatnya
tentang cinta. Rabi’ah menjawab:
“Cinta berbicara terkait persoalan kerinduan dan perasaan
mereka yang merasakan cinta sajayang dapat mengenal cinta,
Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata,
tidak mungkin orang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenal
terlebih dahulu,
Untuk mengenali sesuatu yang belum pernah ditemui-nya,
cinta tidak mungkin dikenal melalui hawa nafsu,
terlebih bila tuntutan cinta
itu dikesampingkan
Cinta bisa membuat orang menjadi bingung dan akan menutup untuk
menyatakan sesuatu,
cinta dapat mengontrol hati”.
Dari penjelasan di atas terdapat dua ketentuan cinta dalam perspektif Rabi’ah al-Adawiyah, yaitu:
Pertama, ekspresi cinta seorang hamba yang sangat mencitai Alla SWT, cintanya tertutup dan hanya tertuju kepada sang kekasih dan yang dicintai. Kedua, kadar cinta kepada Allah SWT pada dasarnya tidak mengharapkan balasan pamrih. Sebab yang dicari ialah melaksanakan keinginan Allah dan menyempurnakan amal ibadahnya.
Beliau wafat ditahun 801 Masehi dan dimakamkan 3 tempat ialah Basrah, Mesir dan di baitul maqdis palestina, dan untuk makam yang pasti hanya Allah yang mengetahuinya.
Rabi’ah Al-Adawiyah ketika ditanya
menginginkan kematian, beliau menjawab;
“kalau aku maksiat atau khianat sama manusia, aku tidak berani bertemu dengan orang tersebut karena malu, bagaimana kalau aku maksiat dengan Allah SWT bukan karena takut sakaratul maut, Cuma ketemu denga Allah dengan wajah apa dengan modal apa”.
Ia juga pernah ditanya apakah engkau menginginkan surga, maka ia menjawab;
“Bukan surga dengan kenikmatan yang rindu, tetapi yang membuat aku rindu karena disurga ada kekasihku Muhammad SAW”.
Referensi
Wasalmi.
(2014). MAHABBAH DALAM TASAWUF RABI’AH AL-ADAWIAH, 2(9), 81-87
Habib Jamal Bin Toha
Ba’agil. Kenapa Robiatun Adwawiyah Sholawat 50.000 kali?. https://vt.tiktok.com/ZS88NaSJt/. Diakses
pada 05, Juni 2021.
K. H. Ahmad. Muwafiq. Syair Robiah Al Adawiyah yang menakutkan. https://vt.tiktok.com/ZS88NuwwN/. Diakses pada 29, Desember 2021.