Niccolo Machiavelli Dan Teori Politik Dalam The Prince


Oleh: Naufa Izzul Ummam

Anda user MM di Mobile Legends (ML)? Kalo iya pasti anda begitu tidak menyukai hero nyiduk-nyiduk apabila dipilih lawan. Amon contohnya, hero tipe assasin dengan buid mage, susah tentunya bagi anda untuk menghindari combo dari Amon ini, apalagi dengan build magenya. Hero nyiduk lain seperti Natalia dan Saber mungkin bisa dihindari dengan membeli WON. Tapi Amon? Masa iya MM harus beli winter? Biasanya atas alasan inilah user MM dari tier epic ke atas nge-ban Amon ini.

Biasanya karakter hero di ML akan mengeluarkan suara karakternya saat hero di ban atau di pick. Ada hal yang menarik saat Amon di ban atau di pick. Hal tersebut adalah kata-kata yang keluar darinya. Berikut kata-katanya “Lebih baik ditakuti dari pada dicintai”. Memang benar, pihak Montoon menceritakan bahwa Amon kelak akan menjadi seorang politisi dengan mewarisi tahta Gusion. Tapi penulis masih belum mengetahui karakter Amon ini terinspirasi dari tokoh mana, yang jelas kata-kata tersebut adalah nasihat politik seorang politikus Nicholo Machiavelli untuk penguasa baru Lorenzo The Magnificent yang terangkum dalam risalah sekaligus magnum opus Machiavelli, The Prince.

Niccolo Machiavelli


Niccolo Machiavelli adalah seorang politikus di zaman Renaisans pada tahun 1469. Ia lahir dari keluarga Tuscan dengan seorang ayah yang merupakan ahli hukum. Ia lahir dan tumbuh saat keluarga Medici berkuasa. Ia sempat mengalami 13 tahun masa pengasingan karena membelot dari keluarga Medici, dalam kurun masa ini, ia menjadi pegawai pemerintahan yang baik.

Karenanya ia mendedikasikan risalahnya ini (The Prince) kepada seorang anggota Medici yang baru menjadi penguasa dengan harapan ia dikembalikan dari pengasingannya dan kembali dipercaya untuk diajak kembali untuk mengurusi kepentingan publik. Pada akhirnya nasihat berupa risalah ini kemudian dicetak setelah lima tahun Machiavelli meninggal.

The Prince


Selama diterbitkan, buku The Prince menjadi buku yang sangat populer. Meski begitu, ironi menyelimuti nama sang pengarang, Machiavelli. Ia sebenarnya merupakan seorang politikus, diplomat, dan penulis yang banyak menuai banyak prestasi. Buku-buku lain yang ditulisnya juga tak kalah hebat. Namun namanya tumbuh dan terkenal hanya sebagai pengarang The Prince.

Ironi yang menyelimuti namanya bertambah seiring dengan konotasi buruk yang disematkan kepada teori politik dalam risalahnya tersebut. Pada tahun 1559, Roma mengeluarkan dekrit penghancuran semua karangan yang ditulis oleh Machiavelli, buku-bukunya masuk kedalam daftar buku terlarang yang publikasinya tidak diizinkan lagi.

Bagaimana tidak, dalam teori politiknya, Machiavelli cenderung memisahkan antara ilmu politik dan ilmu etika. Teori yang dibangunnya cenderung berpegang pada tindakan amoral, munafik, dan tidak berpihak pada warga negara. Teori politik yang ia canangkan hanya bagi mereka yang ingin meraih kekuasaan absolut, bukan bagi mereka yang ingin memakmurkan negara.

Namun begitu, apabila dilihat dari latar belakang ditulisnya risalah ini, semua akan menjadi suatu hal yang wajar. Risalah ini ditulis Machiavelli untuk seorang penguasa baru yang ingin menegaskan kekuasaannya. Ia juga menulis risalah ini di masa pengasingannya. Masa pengasingan yang begitu pahit membuat isi dari risalahnya yang bertuliskan narasi amoral tak beretika apabila dilihat dari sudut pandang masyarakat.

Beberapa Teori Politik Machiavelli


Berikut dua nasihat politik Machiavelli kepada sang penguasa baru dalam The Prince. Penulis sengaja hanya menuliskan dua agar pembahasan tidak terlalu panjang. Meskipun terkesan munafik dan amoral, barangkali nasihat yang disampaikannya dapat memberi pelajaran bagi kita sebagai masyarakat saat melihat bagaimana seorang penguasa, apakah mereka benar Machiavellian atau tidak? Tidak perlu juga kemudian dikonotasikan dengan gambaran negatif, sebab hal tersebut hanyalah gambaran ketika seorang mencapai realitas demikian.

Menejemen Kekejian. Hal ini kiranya merupakan nasihat kepada mereka yang ingin mempertahankan kekuasaannya dengan cara yang keji. Dalam pandangan Machiavelli, penguasa yang melakukan kekejian merupakan kewajaran. Namun hal ini tidak boleh dilakukan secara terus menerus, butuh kiranya selang waktu tertentu agar tidak menimbulkan rasa was-was di antara masyarakat. Sebab, dengan adanya rasa was-was yang menelimuti masyarakat, ketentraman di antara warga negara akan menjadi taruhannya.

Perlu dicatat, kekejian yang dilakukan pada zaman dahulu mungkin bisa dibayangkan dengan pembunuhan antar penguasa, hal ini tidak bisa disalahkan, namun kekejian penguasa di zaman sekarang bukan lagi soal pembunuhan. Suap menyuap, lobi-lobi proyek adalah termasuk dalam ranah kekejian. Bagi penguasa, Machiavelli mengingatkan agar tidak melakukannya secara terus menerus, sebab hal ini akan menyingkirkan rasa percaya kepada kalian para penguasa. Namun bagi anda para masyarakat, kiranya anda mencium bau-bau pengalihan isu, mungkin dapat dipertimbangkan, hal tersebut dilakukan untuk menjauhkan anda dari rasa was was agar anda tetap mempercayai penguasa.

Citra Baik Dalam Muslihat. Demikian rangkaian kata-kata indahnya, jika diaplikasikan dalam bahasa sehari hari, kata ini akan dipahami dengan “Pencitraan”. Dalam pandangan Machiavelli, seorang penguasa minimal harus menunjukkan lima hal baik kepada rakyatnya. Mereka harus tampak welas asih, setia, memeiliki integritas, humanis, dan agamais. Semua sifat ini sangat berguna apabila sang penguasa seolah-olah tampak memilikinya. Mereka tidak perlu memiliki semua sifat di atas, namun perlu bagi mereka agar terlihat memilikinya, lebih-lebih Machiavelli tampak mengingatkan bahwa bahaya bagi penguasa memiliki sifat ini.

Relevansi pendapat Machiavelli dengan zaman sekarang sangat terlihat jelas. Bisa dibayangkan, para politisi dengan politik identitas agamanya, 
baliho yang menunjukkan foto mereka yang sedang melakukan tindakan humanis, video di berbagai media yang menunjukkan sidak menyidak pada jajaran staf yang tidak becus melayani masyarakat, serta berbagai pencitraan lainnya.

Sebagai konsumen atas segala hal di atas, tentunya kita tidak dapat membaca isi hati dari apa yang mereka tunjukkan. Tuluskah atau tidak itu urusan mereka. Bagi anda para masyarakat yang cukup mengerti mekanisme pencitraan, seharusnya dapat menjadi lebih skeptis akan hal ini, lalu kemudian tidak lantas percaya begitu saja. Namun bagi anda penguasa yang sedang melakukan mekanisme ini, harus lebih belajar lagi, bagaimana cara mengamalkan nasihat Machiavelli mengenai pencitraan ini. Sebab, masyarakat semakin ke depan tentunya akan semakin skeptis akan mekanisme pencitraan model lama yang telah basi dan tecium baunya. Dibutuhkan kontekstualisasi akan teori “Citra Baik Dalam Muslihat”.

Penutup


Kebaikan antar pihak tidaklah sama. Barangkali anda sebagai masyarakat merasa selama ini telah dibohongi dengan cara-cara Mechavelli. Namun Apabila kacamata kemudian dibalik menjadi sudut pandang para penguasa,  bukankah hal ini akan menjadi suatu kebaikan di kalangan mereka?. Akan menjadi lebih jelas kiranya apabila berpatokan pada salah satu pengertian politik yang memuat narasi “jalan menuju kekuasaan”. Tidak perlu merasa disakiti, mungkin jika anda di posisi penguasa juga akan melakukan hal demikian.

Konotasi negatif kepada mereka yang menyebut diri mereka sebagai Machiavellian seharusnya diangkat. Apabila disinggungkan dengan realitas yang ada, bukannya memang para pemimpin cenderung demikian? Anggap saja Abul Abbas si penjagal, beberapa sikap yang ditunjukkannya cenderung sesuai dengan apa yang tertera dalam nasihat Machiavelli, meskipun Abul Abbas hidup jauh sebelum Machiavelli. Toh sampai saat nama Abul Abbas senantiasa dikenang sebagai Khalifah pertama bani Abbasiyah. Dalam kitab sejarah, namanya tidak dikonotasikan dengan negatif meskipun pada lembaran pengenalannya dalam buku sejarah akan menampilkan bagaimana kebengisan dari si penjagal ini.
Previous Post Next Post

Contact Form