Oleh: Achmad Ade Rifai
Hati merupakan
salah satu organ tubuh yang memiliki pengaruh penting terhadap tingkah laku
seseorang. Baik buruknya manusia bergantung pada isi hatinya. Tasawuf merupakan
suatu kajian yang erat kaitannya dengan hati, sebab hati merupakan objek utama
dalam pembelajaran tasawuf. Dalam sebuah hadist dikatakan bahwasannya :
“Ingatlah bahwa
di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah
seluruh perbuatannya. Dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh perbuatannya.
Ingatlah, ia itu hati.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
Dari hadis di
atas dapat dipahami bahwasannya hati merupakan penentu utama baik buruknya
seseorang. Bahkan Allah juga melihat hamba-Nya berdasarkan isi hatinya, bukan
berdasarkan rupa maupun bentuk tubuhnya. Oleh karena itu, penting bagi setiap
manusia untuk mempelajari tasawuf dengan tujuan untuk membersihkan hati dari
segala hal yang dapat merusaknya. Lalu, apa arti dari tasawuf? Apakah mampu
menjadikan seluruh manusia menjadi baik dan tak lagi melakukan suatu dosa?
Tasawuf
merupakan suatu kendaraan yang dapat digunakan oleh manusia agar semakin dekat
dengan Allah SWT. Dalam tasawuf, terdapat istilah maqamat yang artinya
kedudukan masing-masing hamba di sisi Tuhannya. Maqamat setiap hamba
dapat terus mengalami peningkatan apabila seorang hamba melakukan berbagai
amalan yang diyakini memiliki nilai spiritual lebih tinggi di sisi Allah. Seseorang
yang senantiasa melakukan amalan-amalan spiritual hingga mencapai titik ma’rifat
terhadap Tuhannya disebut dengan istilah sufi.
Setiap manusia
yang mempelajari tasawuf memiliki tujuan yang sama yaitu untuk membersihkan
jiwa dari segala urusan dunia yang tanpa sadar dapat menghancurkan kesucian
jiwa. Akan tetapi, mempelajari tasawuf tidak dapat dijadikan jaminan agar semua umat
Islam menjadi umat yang baik, namun seseorang yang mempelajari tasawuf dengan
sungguh-sungguh pasti akan senantiasa memperbaiki diri (muhasabah) agar
dapat menjadi umat yang terbaik.
Di era saat
ini, kemajuan teknologi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap pola
ibadah umat Islam, khususnya di Indonesia. Banyak masyarakat yang menunda-nunda
kewajiban hanya karena ingin menikmati perkembangan teknologi lebih lama,
contohnya dengan berselancar di dunia maya.
Dari penjelasan
di atas dapat dipahami bahwa kemajuan memiliki dampak negatif apabila manusia
tidak bisa berdaptasi dengan optimal. Lalu bagaimana dengan keimanan yang
sebelumnya telah berada di kedudukan tinggi? Apakah keimanan seseorang tersebut
mengalami penurunan? Para sufi mengatakan bahwasannya iman merupakan suatu
pengakuan yang keluar dari lisan dan disertai dengan pembenaran hati. Sedangkan
Jumhur ulama mengatakan bahwasannya keimanan mencakup berbagai pengetahuan yang
ada dalam hati, perkataan, dan perbuatan. Pendapat ini dikuatkan dengan sebuah hadis
nabi yang berbunyi :
قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ
وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ
Artinya : Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Iman itu adalah pengetahuan di dalam
hati, perkataan dengan lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.” (Sunan
Ibnu Majah Hadits no. 64)
Adapun beberapa
tingkatan keimanan manusia di hadapan Allah SWT, di antaranya yaitu Iman
taklid, Iman ilmul yaqin, Iman ainul yaqin, Iman haqqul
yaqin, Imam hakikat, Iman pada maqam baqa’. Di mana ketika seorang manusia
telah mencapai level ini maka manusia dapat memandang Allah tanpa pernah
terkecoh lagi.
Berdasarkan
gagasan serta hadis di atas, terdapat beberapa ulama tasawuf yang meyakini
dengan mengatakan bahwasannya iman dapat bertambah dan juga berkurang. Sebagai
contoh seseorang yang sudah mencapai level keimanan paling tinggi terkadang
juga masih bisa melakukan perbuatan dosa baik disadari atau tidak, seperti
orang yang hendak berangkat ke masjid untuk melakukan shalat lalu di tengah
jalan ada kecelakaan dan orang tersebut memilih mengabaikan demi menjalankan
shalat jama’ah. Dengan demikian dapat dipahami bahwasannya orang tersebut telah
acuh terhadap muslim lain yang sedang membutuhkan bantuannya.
Kemudian
diperjelas dengan Imam Junaid al-Baghdadi bahwasannya iman tidak dapat
berkurang namun dapat bertambah apabila seseorang senantiasa memiliki akhlak
yang baik. Sedangkan sebagian sufi berpendapat bahwasannya naik turunnya iman
tidak ditinjau dari segi subtansinya, namun hanya ditinjau dari segi sifatnya
saja, seperti kualitas dan baik buruknya.
Sejatinya iman
seseorang tidak bisa bertambah maupun berkurang, sebab baik buruknya iman telah
menjadi kehendak Allah SWT. Namun pada masa Nabi, dijelaskan bahwasannya iman
seseorang dapat bertambah seiring dengan bertambahnya keyakinan dan kesaksian
seseorang atas hal-hal metafisik. Sedangkan penurunan keimanan seorang mukmin
dapat terjadi apabila seseorang tersebut melakukan hal yang dilarang hingga
seseorang tersebut dijatuhi hukuman dosa.