SUFISME 5.0


Oleh: Fachrul Dedy Firmansyah

Dunia sedang berenang menyusuri sungai menuju era society 5.0, di mana segala aspek dalam dinamika kehidupan manusia sebagai subjek sekaligus objek harus diselaraskan dengan segala perubahan yang ada. Lalu, bagaimana dengan tradisi sufisme? Apakah mampu mengadopsi perubahan dunia?

MAKNA SUFISME 5.0

Era society 5.0 dipahami sebagai era yang lahir atas tindak lanjut era sebelumnya, yakni era revolusi industri 4.0. Sebab, di era society manusia diharapkan mampu menghadapi segala problematika kehidupan dengan produk-produk yang lahir di era revolusi industri 4.0 yang berfokus pada bidang teknologi. Dengan berkembangnya era tersebut, maka segala aspek dalam kehidupan juga akan berubah dan dipaksa untuk berkembang, termasuk aspek tradisi dan budaya.

Namun, perubahan-perubahan yang terjadi justru akan menjadi momok menakutkan apabila tidak selaras dengan ajaran-ajaran luhur manusia. Apabila itu terjadi, maka Indonesia yang notabene adalah negara timur, secara tidak langsung akan mengadopsi budaya barat dan lebih jauh dikhawatirkan akan terjadi praktik sekularisme, di mana masyarakat akan memisahkan dirinya dengan nilai-nilai agama dan membenarkan dirinya sendiri menurut  pemikirannya. Seperti kata Rumi:

Tiada kutukan yang sangat berbisa selain kebebasan kehendak.

Oleh karena itu, harus ada tendensi yang bersifat konstruktif untuk menanggulangi segala impact negatif akibat perkembangan zaman tersebut. Hal yang perlu diterapkan adalah, melakukan pemilihan dan pemilahan secara matang dalam proses pengadopsian segala perubahan tersebut. Dalam hal ini, tidak salah jika kita berangkat dari sebuah keraguan (skeptis), seperti bagaimana seorang Rene Descartes menganalogikannya ke dalam "apel busuk", yang mana untuk memastikan semua apel yang ada di dalam keranjang tidak busuk, maka semua apel di dalamnya harus dikeluarkan semua terlebih dahulu, kemudian diperiksa satu persatu. Hasil yang tidak busuk kembali dimasukkan ke dalam keranjang sementara, yang busuk dibuang atau dieliminasi.

Selain itu, tentu manusia harus mengiringi perkembangan tersebut dengan pendalaman nilai-nilai spiritualitas yang diimplementasikan ke dalam praktik kehidupan, yang nantinya akan menjadi tradisi baru masyarakat era 5.0. Pertanyaannya, praktik spiritual seperti apa yang mampu beradaptasi dengan era society 5.0?.

Seperti halnya ketika manusia berfikir, maka manusia tidak akan bisa berangkat dari pemikirannya sendiri. Dibutuhkan pemikiran sebelumnya yang akan menjadi pengantar dalam pemikirannya.  Maka, tradisi Sufisme-lah sebuah tradisi yang komprehensif dan solutif bagi langkah tersebut. Sufisme adalah sebuah tradisi Islam yang mengajarkan penyucian jiwa, penjernihan akhlak, dan segala bentuk praktik yang mampu mengantarkan manusia menuju Tuhannya. Tradisi Sufisme adalah sebuah praktik pendalaman nilai spiritualitas yang sudah ada sejak dahulu, mampu diadopsi, dan dileburkan dengan perkembangan zaman. Proses ini lebih dikenal dengan “Tradisi Sufisme 5.0”.

BENTUK RIYADHAH SUFISME ERA SOCIETY 5.0

Dalam menyongsong era society 5.0, manusia diharuskan menyelesaikan problematika kehidupannya dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Pertanyaannya, apakah teknologi mampu menjadi langkah solutif bagi seluruh problematika masyarakat modern?.

Faktanya, tidak semua aspek bisa dijelaskan dengan teknologi, seperti halnya dengan aspek “metafisika”. Secara empiris, teknologi tidak akan mampu menelisik sangat jauh ke dalam aspek tersebut. Berusaha menjawab aspek tersebut menggunakan teknologi, manusia justru akan mendapatkan sebuah jawaban yang menjadi produk pendalaman mistik seseorang.

Seorang Intelektual Islam, Sayyed Hosein Nashr berpendapat bahwa dalam kemewahan dan kecanggihan teknologi tersebut, ada kekeringan nilai spiritual Islam.

Oleh karena itu, tradisi sufisme hadir sebagai salah satu langkah dalam menyelesaikan problem terebut. Menjadi pelaku tradisi sufisme (sufi) di era modern, tentu berbeda dengan sufi zaman dahulu. Mungkin justru akan terkesan menyimpang jika sufi era ini melakukan riyadhah (latihan) dalam bentuk “Uzlah”, yakni sebuah gerakan menyendiri seorang sufi di era dahulu. Tentunya sangat kontradiktif dengan nilai sosial saat ini, bahkan dengan makna luhur ajaran tasawuf itu sendiri. Berbagai riyadhah tersebut dilakukan seorang sufi dahulu untuk meningkatkan maqamnya (tingkatannya) sebagai sufi.

Sufi era 5.0, tidaklah harus melakuan riyadhah-riyadhah tersebut untuk menggapai ke-sufiannya. Sufi saat ini, cukuplah melakuan amalan yang sesuai dengan makna luhur ajaran sufisme tersebut dengan mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak apatis terhadapnya. Cukuplah mengambil ajaran sufisme dahulu yang masih mampu dileburkan dengan era ini, misalnya beribadah kepada Allah dalam tenggang waktu tertentu dengan memperhatikan aspek horizontal agar tetap mengingat Allah kapanpun dan di manapun.
Previous Post Next Post

Contact Form