Ada sebab, ada akibat. Begitulah perumpaan yang
akseptebel bagi tulisan ini. Menjadi Muslim, bukanlah sebuah Qadarullah yang
bisa ditanggapi dengan main-main. Ada Hukum absolut yang harus
ditunaikan jika ingin menempatkan diri sebagai Muslim yang taat. Maka dari itu,
Keimanan adalah hal mendasar yang mampu menerbangkan kita menuju sebuah
keniscayaan tersebut. Lantas, bagaimana korelasi antara Muslim dan Iman?
HAKIKAT
ISLAM BAGI SEORANG MUSLIM
Sejak dini, seseorang yang lahir sebagai muslim tidak
pernah luput dari suapan pengetahuan tentang Islam. Tetapi, suapan-suapan itu
terkadang menjadi bias dalam proses seorang muslim menjadi dewasa. Ada yang
mencapai usia baligh-nya dengan
keislaman yang semakin matang, ada juga yang justru lupa dengan keislamannya
sekalipun ia tetap beragama Islam. Maka timbullah pertanyaan, bagaimana
sebenarnya kadar seseorang bisa dikatakan Muslim yang hakiki?
Malaikat Jibril pernah bertanya kepada Rasulullah SAW,
“Apa yang dimaksud Islam?”, kemudian
Rasulullah SAW menjawab:
اَلإِسْلاَمُ:
أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ,
وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ
الْبَيْتَ الْحَرَام
Artinya:
“Islam (adalah) Engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan Sholat, menunaikan Zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan
haji ke Baitul Haram.” (HR.
Muslim)
Dari sabda Rasulullah tersebut, dapat kita simpulkan
bahwa hakikat seorang Muslim adalah seseorang yang menjalankan
perintah-perintah yang ada di dalam hadits
tersebut, atau yang biasa dikenal dengan Rukun Islam. Maka, jika seseorang
mengaku memeluk agama Islam dan merasa taat kepada Allah tetapi tidak
menjalankan Rukun Islam, maka keislamannya gugur dan bukan lagi seorang Muslim.
HAKIKAT
IMAN BAGI SEORANG MUKMIN
Para Filosof banyak sekali yang membicarakan tentang
hal yang bersifat metafisik, misalnya Tuhan. Dalam hal ini contohnya seorang
Filosof Islam, al-Kindi berpendapat bahwa:
Tuhan (Allah) adalah wujud yang Haq (benar), yang bukan asalnya tidak ada, kemudian ada. Ia mustahil tidak ada. Ia selalu ada dan akan selalu ada. Oleh karenanya, Tuhan adalah wujud sempurna yang tidak didahului wujud lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada wujud kecuali dengan-Nya.
Dalam pendapat al-Kindi tersebut, bukankah kita
melihat sebuah keyakinan yang sangat kuat? Bagaimana ia seyakin itu bahwa Tuhan
(Allah) itu ada, sedangkan Wujud Fisik-Nya tak pernah bercengkrama dengannya? lalu,
Apa sebenarnya Iman itu?
Jawabannya adalah Iman. Imanlah yang membuat al-Kindi
yakin bahwa Allah itu ada dengan menganalisa segala yang ada di alam semesta
dengan pemikirannya. Allah SWT, berfirman:
اِنَّ
رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِ اَيَّامٍ
ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ يُغْشِى الَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهٗ
حَثِيْثًاۙ وَّالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمْرِهٖٓ
ۙاَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْاَمْرُۗ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ
Artinya: “Sesungguhnya
Rabb-mu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa,
lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang
mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan
bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan
dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha penuh berkah Allah, Rabb semesta alam.”
(QS. Al-A’raf: 54)
Malaikat Jibril juga pernah bertanya kepada Rasulullah
SAW, “Apa yang dimaksud Iman?” kemudian
Rasulullah SAW menjawab:
الْإِيْمَانُ:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ، وَمَلَائِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ، وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
Artinya:
“Iman adalah engkau beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, Hari akhir, dan
beriman kepada ketetapan Allah yang baik dan buruk.” (HR. Muslim)
Maka, tidaklah beriman seseorang jika tidak
mengindahkan sabda Rasulullah SAW tersebut. Seseorang bisa dikatakan beriman
(Mukmin) ketika mampu menunaikan apa yang diungkapkan Rasulullah kepada Malaikat
Jibril tersebut, atau yang kita kenal dengan Rukun Iman.
HUBUNGAN
KEDUANYA
Jika kita telaah lebih detail, maka akan kita temukan
perbedaan antara Islam (Muslim) dan Iman (Mukmin). Dari sabda Rasulullah di
atas, dapat ditangkap bahwa Islam berhubungan dengan lahiriyah, sedangkan Iman erat kaitannya dengan bathiniyah. Dari perbedaan tersebut,
apakah ada hubungannya?
Allah SWT berfirman:
قَالَتِ
الْاَعْرَابُ اٰمَنَّا ۗ قُلْ لَّمْ تُؤْمِنُوْا وَلٰكِنْ قُوْلُوْٓا اَسْلَمْنَا
وَلَمَّا يَدْخُلِ الْاِيْمَانُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ ۗوَاِنْ تُطِيْعُوا اللّٰهَ
وَرَسُوْلَهٗ لَا يَلِتْكُمْ مِّنْ اَعْمَالِكُمْ شَيْـًٔا ۗاِنَّ اللّٰهَ
غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ
Artinya: “Orang-orang
arab Badui itu berkata, “Kami telah beriman”. Katakanlah, “Kamu belum beriman”,
tapi katakanlah, “Kami telah tunduk (Islam)”. Karena Iman itu belum masuk ke
dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-nya, dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat: 14)
Dari ayat tersebut, bisa di simpulkan bahwa seseorang yang Islam belum tentu Iman, dan Iman
lebih tinggi maqam (tingkatan) nya
daripada Islam.
Rasulullah SAW bersabda:
الإيمانُ
مَعْرِفَةٌ بالقَلْبِ، وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ، وعَمَلٌ بالأَرْكَانِ
Artinya: “Iman
adalah diyakini dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan
perbuatan”. (HR. Ibn Majah dan Imam at-Thabrani)
Sedangkan jika merujuk pada hadits tersebut, bisa
dipahami bahwa dalam dimensi pengertian Iman juga sudah mencakup aspek lahiriyah (Islam), sehingga dapat
ditarik kesimpulan bahwa seseorang yang beriman (Mukmin) juga mencakup Islam
(Muslim). Maka, keimanan yang kuat tentu akan mengantarkan seseorang menjadi
muslim yang taat.
Wallahu
a’lam
Tags
Opini