Oleh: Nur
Hidayati
Jum'at, 26 November 2022
Langit mendung
dengan sedikit jingga yang syahdu terlihat dari bawah sudut pojok Twin Tower
UINSA, seakan mendukung diskusi santai pada sore hari ini.
Sekumpulan manusia
duduk membentuk lingkaran untuk membedah buku sebagai agenda mingguan dari
Komunitas Literat Muda (KLM), jika biasanya mengangkat jurnal atau buku yang
agak berat, kali ini sedikit berbeda, temanya ringan namun menarik dan cukup menggelitik.
"Jomblo"
haha.
Mungkin kata Jomblo
seringkali dikonotasikan pada hal yang cenderung minus dan memprihatinkan.
Namun jangan khawatir sobat, karna disini kita akan melihat gelar 'jomblo' dari
sisi yang berbeda.
Bedah buku berjudul
"Ulama Jomblo: Rela Tidak Beristri Demi Ilmu" karya 'Abd al-Fattah
Abu Ghuddah yang diterjemahkan oleh Ali Hisyam dari kitab aslinya yang
berbahasa Arab "Al-'Ulama al 'Uzzab
Alladzina Atharu al-'Ilma 'ala al-Zawaj" dan yang berkesempatan
menjadi pembedah kali ini adalah Sahabat Haris Miftah Sibawayhie & Abd Aziz
Ali Fikri. Selain itu juga, sahabat Khairul Atfal sebagai pembanding dari kedua
pembedah.
Buku tersebut
merupakan buku yang bisa dibilang agak kontroversial, namun juga penting
terutama bagi sobat KLM yang sedang menyandang gelar “jomblo”, haha. Bahwa dalam buku ini kita bisa
mengamati, pilihan menjadi jomblo ternyata tidak selalu negatif. Sebaliknya,
jomblo bisa menjadi hal yang amat positif, lho!
Singkatnya, isi
buku ini memuat dua bagian. Pertama: mengenai alasan dan pandangan para
ulama terhadap pilihan menjadi “jomblo”. Kedua: berupa judul-judul yang
memuat 19 riwayat hidup para ulama yang tidak menikah hingga akhir hayatnya.
Dalam kata
pengantarnya, Abu Guddah mengemukakan alasannya menyusun buku mengenai ulama yang memilih
memprioritaskan keilmuan dari pada menikah tersebut karena berfikir bahwa
diskursus mengenai hal itu sangat jarang bahkan beliau sendiri belum pernah
menemukannya kala itu.
Pengarang ingin
mengenalkan pada kita; pemuda-pemuda di
masa kini dan masa yang akan datang tentang bagaimana para pendahulu kita
begitu tertarik dan haus akan ilmu. Betapa tingginya nilai ilmu bagi mereka,
hingga rela meninggalkan segala kesenangan duniawi termasuk “pernikahan” dan
lebih menyibukkan diri mereka untuk terus meng-upgrade- ilmu dan pengetahuan.
Mereka lebih memilih untuk mendedikasikan seluruh hidupnya untuk menimba ilmu,
menulis kitab, mengabdikan diri pada agama, serta menebar kebermanfaatan kepada
umat Islam, yang dengan itu diharapkan nantinya kisah-kisah tersebut menjadikan
kita sebagai generasi muda yang lebih termotivasi akan ilmu dan lebih
menghargai nilai ketinggian dari pengetahuan.
Selanjutnya dalam
muqaddimah (pendahuluan) pengarang mengawali dengan memaparkan mengenai urgensi
dari pernikahan. Dalam Islam, pernikahan merupakan hal yang disyari'atkan,
bahkan sangat ditekankan kepada mereka yang dikhawatirkan akan terjerumus pada
bahaya naluri syahwat yang menjatuhkan para jomblo pada jurang kehinaan (zina).
Sebagian imam fikih mengkategorikan pernikahan sebagai ibadah, penyempurna
keimanan, meneruskan keturunan yang shaleh dan agar kelak menyampaikan kebaikan pada generasi
selanjutnya. Jadi pernikahan pada hakikatnya
memang merupakan kebuhutuhan pokok manusia.
Jadi di awal pengarang
memang menuturkan, bahwa pilihan menjadi
jomblo seumur hidup memang bukan pilihan
yang mudah. Ada banyak hal memprihatinkan yang mungkin akan di alami oleh jomblo di
masa tua. Kasarnya begini; "harus hidup sendiri, buat makan harus masak
sendiri, cuci baju sendiri, parahnya lagi
kalo udah tua terus sakit, nahhh gimana tuh ga ada yang rawat".
Jadi memang seorang jomblo tidak akan mampu menanggung beban tersebut kecuali
jika memang ia memiliki niat, tekad, dan kesabaran yang kuat seperti ulama jomblo yang sangat luar biasa ini.
Dalam poin
selanjutnya dijelaskan mengenai alasan-alasan ulama memilih jomblo, mengingat
bahwa dalam Islam tidak ditemukan nash yang shahih mengenai
motivasi untuk menjadi jomblo. Mereka pun
tahu bahwa dalam Islam ada syari’at pernikahan, bahkan beberapa di antara ulama
jomblo ini memiliki banyak karya terkait dengan pernikahan.
Mengenai hal itu,
hanya Allah yang tahu. Namun pada intinya, mereka berpandangan bahwa keutamaan
ilmu bagi mereka jauh lebih unggul dari kebaikan pernikahan, memprioritaskan
satu perintah dari perintah yang lain, mereka tidak mengajak orang lain untuk menjadi jomblo
seperti mereka, bahkan mereka juga tidak pernah berkata kejombloan mereka lebih
utama dari mereka yang menikah.
Dalam buku ini disebutkan
banyak alasan dan juga pandangan ulama yang memilih jomblo, di antaranya yaitu,
mereka memandang pernikahan— terlepas dari kebaikan dan keutamaannya— sebagai
sebab yang sangat menyibukkan untuk meraih tujuan mulia dan luhur, mereka
beranggapan bahwa pernikahan akan menjadi penghalang dalam memperoleh ilmu yang
lebih tinggi.
Adapun dalam Al-Jami'
li Akhlaq al-Rawi wa ‘Adam al-Sami' karya al-Hafiz al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah,
disebutkan bahwa bagi penuntut ilmu dianjurkan sebisa mungkin untuk menjomblo
agar kesibukan dan kewajiban hak suami isteri dan mencari nafkah tidak memotong
proses kesempurnaan mencari ilmu.
Sementara Yusuf al-Qawas
berkata, bahwa dia pernah mendengar Abu Bakar An-Nasaiburi berkata "Kalian
tahu orang yang bangun selama 40 tahun, tidak tidur malam, setiap hari hanya
makan lima biji (kacang), menjalankan sholat ghadat (fajar-dhuha) dengan sesuci wudhu isya di akhir waktu?"
kemudian an-Nasaiburi berkata "Akulah orang itu. Itu semua aku lakukan
sebelum aku mengenal Ummu Abdurrahman (Istrinya). Kenapa aku mengatakan tentang
orang yang menikah itu?" kemudian ia berkata "Tiada maksud lain,
kecuali untuk kebaikan saja".
Ungkapan lain yang
masyhur dari al-Imam Bisyr al-Hafi bahwa "Ilmu telah hilang di paha para
wanita" sebagaimana dalam kitab Al-Masnu
fi Ma'rifat al-Hadith Maudhu' karya ‘Ali al-Qari. Hal tersebut menunjukkan bahwa banyak ulama yang
diberhentikan oleh ikatan pernikahan, kemudian yang berjalan adalah kesenangan,
tanggung jawab, serta kesibukan mengurus anak-anak dan semacamnya. Hal itu
memalingkan mereka dari ilmu, lantas ilmu mereka menjadi kabur.
Kemudian bagian
selanjutnya dalam bukunya, Abu Guddah mengkisahkan dengan ringkas mengenai biografi dan kisah 19 Ulama dari berbagai
bidang yang memilih untuk jomblo hingga akhir hayatnya, baik yang ahli di
bidang tafsir, qiraah, hadis, sastra, budaya, hakim, gramatika dan bahasa,
serta juga ahli ibadah yang sudah masyhur keutamaan dan kualitas keilmuannya.
Di antaranya yaitu:
- Abul Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari
- Imam Nawawi
- Ibnu Taimiyah
Kelebihan buku: Ada
banyak hikmah yang bisa di ambil dari buku ini, salah satunya mengenai betapa
tinggi nilai ilmu. Mengingat banyak
pergaulan bebas yang menyerang remaja di
zaman ini, buku tersebut mungkin juga cocok dijadikan sebagai pengingat bagi
kita semua yang sedang dalam ranah pendidikan, baiknya untuk memfokuskan diri
terlebih dahulu untuk mencari ilmu dan memanfaatkan kesempatan yang ada untuk
terus mengembangkan keilmuan dan pengetahuan kita mengenai banyak hal. Gampangnnya
“ojo kesusu, sinau sek”
Kekurangan:
sebetulnya dalam acara bedah buku, secara langsung tidak disebutkan mengenai
kekurangan, ini hanya uneg-uneg penulis artikel. Di sini menyayangkan
bahwa dalam buku tersebut lebih condong/hanya melihat dari sudut pandang
laki-laki. Jadi wanita di sana seakan-akan menjadi manusia yang terpojokkan dan
merupakan sebab kehancuran. Walaupun saya pribadi meyakini pengarangnya tidak
sedikitpun memiliki niat mendiskriminasi. Namun, mungkin akan lebih fair
jika pengarang juga menyebutkan salahsatu ulama perempuan yang juga memilih
jomblo dalam hidupnya, seperti Sayyidah Rabiah al-Adawiyah misalnya.
Jadi gimana nih,
apakah sobat KLM ada yang tertarik mengikuti jejak para ulama Jomblo? Mimin
pikir, mengenai pilihan menjadi jomblo seumur hidup, sepertinya itu kurang
relevan untuk kehidupan jaman sekarang. Kita tidak harus mengikuti jejak para
ulama jomblo seumur hidup tersebut kok! Jangan berkecil hati, dalam referensi
yang lain ternyata ada kisah mengenai Abdurrahman Bajalhaban jadi wali Allah
karena sabar hadapi istri cerewet. (Ehm)
Pada intinya setiap
pilihan kembali pada pribadi masing-masing, tergantung dari bagaimana kita
menjalani semuanya.
Sekian