Oleh: Moh Syifa’ Akmaluddin Bukhori
Pernikahan adalah sebuah ikatan
janji suci antara kaum Adam dengan kaum hawa. Pernikahan diisyaratkan dengan Aqdun
Nikah, atau bisa juga disebut dengan pengikatan janji suci pernikahan antara
pihak laki-laki dan perempuan. Pelaksanaan akad nikah ini biasanya bersamaan
dengan acara upacara pernikahan (Jawa, due gae), yakni acara perayaan atas pelaksanaan
ibadah suci akad nikah.
Perayaan pernikahan hampir berlaku
di seluruh penjuru Indonesia, dilaksanakan dengan norma-norma agama dan adat
istiadat yang ada dan berlaku sesuai dengan kelas sosial yang mempengaruhi. Akan
tetapi, terkadang perayaan yang digunakan dalam adat istiadat tertentu ini
berkaitan dengan aturan atau norma agama yang diikuti. Dalam masyarakat Islam
Jawa, kebanyakan acara pernikahan dilaksanakan setelah terjadinya akad nikah. Perayaan
ini diisyaratkan sebagai bentuk wujud syukur atas berlangsungnya pernikahan
antara anak dari orang yang merayakan dengan pasangannya, dan juga sebagai
bentuk permohonan doa, agar hubungan pernikahan yang baru saja berlangsung ini menjadi
pernikahan yang Sakinah Mawadah wa Rahmah.
Dalam hubungan pernikahan, pasti
akan terjadi permasalahan-permasalahan yang akan selalu menghantui kedua
pasangan, baik itu harta, tahta, ataupun wanita. Hal yang paling sering terjadi
adalah permasalahan mengenai wanita, karena banyak terjadi kurangnya komitmen
yang dibangun oleh sang suami, dan juga banyaknya godaan dari wanita-wanita di
luar sana.
Pada dasarnya dalam Islam seorang
pria dapat menikahi wanita lebih dari satu, yakni dapat menikah dengan 4 wanita. Akan tetapi
lebih baik manakah antara hidup dengan satu wanita atau dengan dua sampai
empat?
Kebanyakan para pria di luar sana
pasti akan menggunakan dalil yang ada dalam QS. An Nisa’ ayat 4:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا
فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ
وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ
اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ
“Dan jika kamu khawatir tidak akan
mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau
empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka
(nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang
demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”
Ayat ini turun delapan tahun setelah
Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, setelah meninggalnya sayyidah Khadijah pada
bulan Ramadhan di tahun kesepuluh kenabian, dan juga setelah Rasulullah menikahi
semua istri hingga istri terakhir yaitu Maimunah pada tahun ketujuh kenabian.
Sedangkan Asbabun nuzul dari ayat 3
surat an Nisa ini, sebagaimana dalam kitab
ash shahihain adalah bahwa Urwah bin az Zubair bertanya kepada Aisyah
tentang firman Allah وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى maka Aisyah menjawab,
“Wahai anak saudara perempuanku, sesungguhnya anak perempuan yatim ini berada
dalam perawatan walinya, ia menyertainya di dalam hartanya, lalu walinya
tertarik dengan harta dan kecantikan anak perempuan yatim itu dan menginginkan
untuk menikahinya dan tidak berlaku adil terhadap maharnya, dia memberikan
mahar kepadanya tidak seperti orang lain memberikan mahar kepadanya. Maka
mereka dilarang untuk menikahi anak-anak perempuan yatim kecuali apabila mereka
dapat berlaku adil terhadap anak-anak perempuan yatim itu dan memberikan kepada
anak-anak perempuan yatim itu yang lebih besar dari kebiasaan mereka dalam hal
mahar. Maka para wali itu pun diminta untuk menikahi wanita-wanita lain yang disenanginya
selain dari anak-anak perempuan yatim itu”.
Terjadi perbedaan pendapat juga di kalangan
ulama tafsir mengenai tafsiran ayat ini, seperti Fakhruddin Ar-Razi, menurutnya,
ayat ke-3 yang membahas tentang pernikahan ini adalah hukum kedua yang
dijelaskan Allah dalam Surat an-Nisa’, setelah sebelumnya dijelaskan hukum yang
pertama dalam ayat ke-2 yang berkaitan dengan hukum harta anak yatim. Ulama
ahli tafsir berbeda pendapat dalam memahami konteks ayat, “Bila kalian khawatir
tidak dapat berlaku adil dalam (menikahi) anak-anak yatim perempuan, maka
nikahilah dari perempuan-perempuan yang kalian sukai…”.
Pertama, menurut Sayyidah Aisyah konteks ayat ini adalah anak yatim
perempuan yang berada dalam perawatan walinya, lalu si wali tertarik kecantikan
dan harta anak tersebut sehingga ingin menikahinya dengan mahar paling murah. Kemudian
bila berhasil menikahinya, si wali akan memperlakukannya dengan perlakuan yang
buruk karena tidak akan ada orang yang membelanya. Dalam konteks seperti itulah
Allah menegaskan pada ayat ini, “Bila kalian khawatir akan berperilaku zalim
terhadap anak-anak yatim perempuan saat menikahinya, maka nikahilah perempuan
selain mereka yang kalian sukai”. Sederhananya, yakni bila orang khawatir tidak
berbuat adil terhadap anak-anak yatim perempuan yang dirawatnya, maka jangan
nikahi mereka, akan tetapi nikahi wanita yang lain.
Kedua, menurut sebagian ulama, sebagaimana pendapat Ibnu Abbas RA dalam
riwayat Ali bin Abi Thalhah Al-Walibi, ketika turun ayat ke-2 Surat An-Nisa’
tentang anak yatim dan dosa besar bila memakan hartanya, maka para wali yatim
saat itu takut melakukan dosa tersebut, karena tidak mampu berbuat adil dalam
memenuhi hak-hak anak yatim yang dirawat mereka. Padahal jika kita menelisik
dari sisi lain saat itu, di antara mereka juga ada laki-laki yang beristri
banyak dan membutuhkan biaya (nafkah) yang tidak sedikit. Sementara mereka
tidak mampu memenuhi hak-hak istri mereka. Dalam kondisi seperti inilah
kemudian dikatakan kepada mereka, “Bila kalian takut tidak dapat berbuat adil
dalam memenuhi hak-hak anak yatim dan merasa berat hati karenanya, semestinya
kalian juga takut atas ketidakadilan kalian terhadap para istri”.
Lalu mereka berkata, “Sebutkan
jumlah istri karena orang yang merasa dosa atau bertobat darinya tetapi masih
melakukan dosa semisalnya, maka seolah-olah sebenarnya ia tidak merasa berdosa”.
Sederhananya, jika seseorang khawatir akan dosa karena tidak mampu berbuat adil
kepada anak-anak yatim, semestinya mereka juga akan khawatir berdosa karena
tidak mampu berbuat adil kepada para istri mereka. Oleh karenanya, jangan
banyak istri melebihi kemampuan tanggung jawab atas mereka.
Ketiga, menurut sebagian ulama lain, konteks ayat ini adalah para lelaki
merasa berat mengenai urusan perwalian anak yatim. Lalu dikatakan kepada
mereka, “Jika kalian takut tidak dapat memenuhi hak anak-anak yatim, semestinya
kalian juga takut terhadap perbuatan zina, karena itu, nikahilah wanita-wanita
yang halal, dan hati-hati berada di sekitar wanita yang diharamkan”.
Keempat, menurut Ikrimah, konteks ayat ini berkaitan dengan seorang
laki-laki yang mempunyai istri banyak dan anak yatim yang juga sama banyaknya. Lalu
ketika ia menafkahkan harta untuk para istrinya, hartanya habis dan menjadi
orang yang kekurangan harta dan tidak
mampu memenuhi hak nafkah anak yatim yang dirawatnya. Maka dari itu, dalam
konteks seperti ini Allah memberi peringatan agar laki-laki tidak beristri
lebih dari empat. Bila masih khawatir tidak mampu memenuhi hak nafkah mereka (dhahir
dan batin) maka hendaknya ia beristri tiga, dua, atau bahkan hanya satu saja.
Sedangkan Menurut Ar-Razi, pendapat
keempat inilah yang paling mendekati kebenaran, karena konteks ayat ini adalah
peringatan Allah kepada para lelaki agar tidak terlalu beristri banyak, karena
bisa saja ia justru akan berbuat zalim dengan mengambil harta anak yatim yang
dirawatnya untuk memenuhi kebutuhan para istrinya. Wallau A'lam
Daftar Pustaka
Muhammad Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih
Al-Ghaib, Juz 9, (Beirut: Darul Fikr, 1990), 177-178
Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidi, Asbabun
Nuzul, Jakarta: Darul Kutub Ilmiyah, 2010), 88-89