Memetik Moral Agama Dari Yang Viral


Oleh: Siti Khodijah

Dewasa ini, berbagai media sosial seperti twitter, instagram, tiktok, youtube, facebook dan lain-lain telah dipenuhi anak muda yang bijak dan open minded dalam segala hal baik bidang politik, agama, kesehatan, isu semasa dan lain-lain. Namun, satu perkara yang harus kita akui, yaitu keberadaan toxic people di berbagai media sosial saat ini. Karena zaman sekarang ini, media sosial dengan mudah bisa diakses oleh siapapun dan mereka semua mendadak menjadi ahli politik, ahli agama, dan sebagainya. Dengan begitu, dapat kita pahami bahwa media sosial saat ini tengah digunakan oleh tangan-tangan yang kurang tepat.

Agama Islam itu sangat luas dan tidak dapat dipisahkan dari aspek-aspek dalam kehidupan. Islam tidak dapat direduksi menjadi suatu metodologi satu kelompok atau golongan tertentu. Sebagaimana yang kita tahu bahwa agama Islam selalu relevan dengan semua masa. Namun, dewasa ini konflik sosial dan agama mulai bermunculan. Di mana peran media sosial sangat menonjol dalam menciptakan konflik tersebut. Segala provokasi serta ujaran kebencian demi kepentingan kelompok atau golongan tertentu berseliweran di media sosial tanpa ada filter. Mengenai hal ini, al-Habib Ali al-Jufri pernah berkata, “Ketika saya mendengar sebagian orang berbicara mengatasnamakan Islam dengan bahasa provokasi dan narasi caci maki, maka saya bersyukur kepada Allah Swt. karena saya tidak mempelajari Islam dari orang-orang seperti mereka”. Jangan biarkan kelompok atau golongan tertentu semaunya merusak rasa kebhinnekaan yang telah lama terjalin. Sudah seharusnya kita menindak tegas terhadap segala hal yang mencoba memecah belah bangsa demi kepentingan kelompok atau golongan, apalagi dengan mengatasnamakan agama. Karena internet bukanlah tempat hina agama dan sesama.

Di antara penyebab konflik sosial dan agama belakangan ini adalah krisis panutan atau lebih tepatnya kebodohan yang membuat seseorang tidak tahu cara memposisikan panutannya dengan tepat. Setiap muslim harus memulihkan urusan agamanya pada ulama (orang yang benar-benar telah menekuni ilmu agama), namun masalahnya banyak orang awam yang setelah menemukan jawaban dari pertanyaannya serta merta memposisikan dirinya sebagai ulama yang dianut atau serta merta menjadikan ulamanya sebagai kebenaran yang mutlak sehingga dia akan menerobos apapun yang dia anggap berseberangan dengan jawaban yang telah dia dapatkan. Bahkan dia akan masuk untuk menerima jawaban yang percayai itu dan akan memberi tahu yang tidak sejalan dengan jawaban yang dia dapat meskipun yang tidak sejalan adalah dari orang yang telah mendalami bidang ilmu agama dalam jangka waktu yang lama. Egoisme dan kepentingan nafsu pribadi juga merupakan penyebab konflik-konflik tersebut. Egoisme tak terkontrol membuat seseorang bisa menyalahkan dan menganggap kebenaran harus sesuai dengan apa yang dia tahu dari sumber yang dia yakini.

Yang perlu ditekankan di sini yang pertama adalah kita sebagai pengguna media sosial haruslah selektif dan kreatif dalam mempelajari agama melalui internet. Ilmu tidak datang semudah scroll internet, tapi ilmu datang dengan pemahaman dan pembacaan yang teliti. Habib Ali Zaenal Abidin al-Hamid pernah berkata bahwa belajar ilmu agama perlu berguru, bukan sekadar membaca kitab sendirian dan melayari internet. Ilmu itu bisa didapatkan melalui adab kepada ilmu serta guru yang mengajarinya. Begitu juga dengan KH. Ma’ruf Amin yang juga mengakatan bahwa “Belajar agama jangan hanya melalui internet, karena bisa bahaya. Di sinilah pentingnya berjamaah dan berjamiyah. Belajar agama itu dari ulama”. Dari sini telah kita ketauhi akan bahayanya belajar tanpa melalui guru, sebagaimana ungkapan yang sering kita dengar, “Agamamu adalah siapa gurumu”.

Internet seharusnya digunakan dan dimanfaatkan untuk dakwah dan mengajarkan manusia tentang kebenaran. Serta menunjukkan kepada mereka sesuatu yang bermanfaat untuk agama dan dunia mereka. Al-Habib Umar bin Hafidz berpesan, “Manfaatkanlah media sosial kepada sesuatu yang bermanfaat serta jadikan televisi, gawai, internet, dan alat-alat lainnya sebagai pembantu bagi agamamu”. Jangan jadikan nilai-nilai agama yang mulia menjadi radikal dan taqlid buta serta jangan menjadi intoleran dan radikal.

Saat ingin berdakwah menggunakan media sosial atau internet, pikirkan lagi apakah niat kita ikhlas karena Allah Swt atau karena konten semata. Karena media sosial atau internet itu wasilah (sarana), jadi masuk dalam kaedah fiqih lil wasail hukmul maqashid (setiap perantara memiliki hukum yang tergantung pada tujuannnya). Apabila diterima baik, maka perantara tersebut menjadi baik juga. Begitu pun sebaliknya. Perlu diperhatikan juga terkait adab-adab dalam berdakwah di media sosial. Metode dakwah yang dimulai dengan mengkafirkan muslim lain, itu tidaklah sesuai dengan ajaran agama kita yang selalu menekankan rahmatan lil alamin. Metode dakwah seperti itu tidak lain merupakan cikal bakal terorisme. Al-Habib Ali al-Jufri pernah berkata, “Usaha untuk mengislamkan suatu kebohongan, keburukan dan kekotoran dalam berkata adalah bentuk pengkhianatan pada Allah, Rasul dan pada syariat yang suci”.

Ustadz Dr. H. Das’ad Latif ketika ditanya tentang bagaimana cara kaum milenial agar tidak salah dalam memfilter dakwah dari internet, “Kaum milenial jangan galau dengan perbedaan. Pasti ada perbedaan, kemudian agar kita tidak salah dalam memilih perbedaan ini adalah dengan berlaku arif dalam menyikapi perbedaan. Arif itu tidak mudah menyalahkan orang, karena dosamu tidak saya tanggung dan dosaku tidak kamu tanggung, jadi lebih baik saya meyakini apa yang saya yakini dengan tidak menyalahkan orang lain. Lalu sebagai anak milenial jangan belajar agama melalui capture-capture hadis bahwa ini dan itu haram dan sebagainya. Memang betul ada hadistnya tapi tidak diuraikan secara detail dan juga tidak membahas asbabul wurudnya. Maka dari itu perlunya menghubungi ustadz atau guru. Selain itu pada capture-capture hadis yang sering kita jumpai, seringkali hadis yang disampaikan adalah hasil pemahaman madzab mereka sendiri tanpa memberi pandangan dari madzab-madzab lain sehingga banyak kaum millenial yang mudah memvonis orang lain. Saya sendiri berprinsip bahwa dakwah itu mengajak bukan memvonis, karena memvonis itu tugasnya hakim”.

Seseorang jika sempit ilmunya, maka hatinya menjadi sempit dan tidak bisa menyikapi perbedaan serta akan suka memvonis orang lain sesat, kafir, bid’ah, syirik dan sebagainya. Jadi semakin luas keilmuan dan akal seseorang, maka akan semakin sedikit kritiknya terhadap orang lain. Sebab dia melihat apa yang ada pada orang itu ada sumbernya. Sebagaimana yang telah Prof. Quraish Shihab katakan, “Bagaimana orang mau datang kepada kita dalam kebaikan kalau kita suka mengancam-ngancamnya. Agama yang disampaikan dengan kekerasan tidak akan diterima dengan setulus hati. Yang pertama perlu dilakukan dalam berdakwah adalah membuat orang yang kita ajak tertarik mendengar dakwah”.
Previous Post Next Post

Contact Form