Ketika Timur Dipaksakan Berfikir Seperti Barat


Oleh: Naufa Izzul Ummam 

Pembahasan mengenai barat dan timur sejak zaman dahulu sampai sekarang mungkin tak pernah berakhir. Barat dan timur yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya mengenai letak geografisnya, toh Australia yang notabene terletak di selatan dibilang Barat. Yang dimaksud dalam hal ini adalah budaya yang ada di barat dan timur. Semua orang tau kalau budaya barat dan timur sangat jauh berbeda. Tidak perlu jauh-jauh untuk melihat bagaimana tingkat perbedaan budaya antara barat dan timur pada abad pertengahan maupun abad-abad sebelumnya, sekarang saja dapat kita lihat bahwasanya timur cenderung menjaga adab dan sopan santun yang telah mengakar pada budaya mereka, dan barat cenderung berbudaya dengan penerapan kebebasan. Mungkin dari budaya itu muncul kala-kata You only life once

Barat Dan Edward Said

Anggapan saya mengenai budaya barat di atas bisa saja dikatakan hanya anggapan dari seorang outsider yang tidak pernah melancong ke belahan bumi dengan budaya barat. Tapi hal ini tidak bisa serta merta disalahkan. Anggapan seorang outsider mengenai tempat dengan budaya lain tidak boleh dianggap sepele. Jika ditelusuri lebih dalam, sesungguhnya anggapan inilah yang membuat orang barat datang berbondong-bondong mengkaji dunia timur. Klaim mereka sesuai yang ditulis oleh Edward W. Said dalam magnum opusnya, Orientalism adalah ingin memberi pengetahuan lebih (menggurui) kepada orang-orang timur sebab orang barat (yang notabene outsider) menganggap bahwasanya orang timur sangat tidak berpendidikan dan terbelakang. Inilah yang kemudian membuat Edward Said membahas lebih jauh perilaku orang-orang barat terhadap orang timur. Namun perlu diketahui, timur dalam tulisan Edward said hanya difokuskan pada daerah timur tengah saja.

Orientalism pertama kali terbit pada tahun 1978. Pokok pikiran utama dari buku tersebut adalah kritik yang Edward luncurkan kepada pihak orientalis mengenai perilaku mereka terhadap bangsa timur. Menurut Edward, barat terlalu memaksakan segalanya terhadap timur apalagi dalam hal ilmu. Barat terlalu menganggap kebenaran subjektif yang mereka dapatkan dari metodologi yang nyatanya mereka buat sendiri adalah kebenaran absolut dan dapat diimplementasikan ke dalam budaya manapun. Salah satu contoh yang dapat diambil adalah metodologi penghimpunan sejarah. Barat menganggap bahwasanya metode penghimpunan sejarah orang-orang Arab yang bersandar pada sanad tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karenanya menurut para orientalis hal tersebut harus direkonstruksi dengan mengganti metode penyusunan sejarah timur dengan metode yang biasanya digunakan para akademisi barat, yaitu mencari literatur yang ditulis sezaman dengan kejadian sejarah terjadi.

Hal inilah yang sangat tidak disetujui oleh Edward, bagaimana mungkin metode yang telah digunakan oleh orang-orang timur selama 10 abad lebih secara tiba-tiba ingin digantikan dengan metode yang biasa digunakan oleh orang barat dengan alasan dapat lebih dipertanggung jawabkan. Bagaimana bisa para orientalis mempunyai anggapan bahwa hanya metode mereka yang memiliki kebenaran absolut dan yang lain tidak. Bisa saja kedua metode itu sama-sama bisa dipertanggung jawabkan namun caranya saja berbeda. Bukannya banyak jalan menuju roma?

Timur Dan Mun'im Sirry

Namun begitu, karya yang dianggap berpengaruh di kalangan akademisi tersebut tidak terlepas dari banyak kritik walaupun banyak juga pujian yang dituai. Akitabtnya tanggapan Edward said melalui orientalismenya masih tidak terlalu berpengaruh dan ‘perilaku orientalis’ yang dikritik Edward terus berjalan. Bahkan kerap ditemui orang timur sendiri yang melakukan ‘perilaku orientalis’ tersebut. Tidak perlu jauh-jauh mencarinya, Mun'im Sirry yang merupakan salah satu akademisi Indonesia melakukan hal tersebut, mungkin karena beliau lama menempuh pendidikan di barat sekaligus mengajar di sana membuat pemikiran barat mempengaruhi alur hidup akademiknya.

Terlalu banyak buku dari bapak Prof. Mun’im yang menjadi bukti bahwasanya beliau sangat terpengaruh oleh pemikiran barat. Lebih jauh beliau bertindak layaknya akademisi barat yang ingin merekonstruksi sejarah Islam dengan mengkritik deskripsi narasi sejarah kitab sirah klasik dan metode periwayatan sanad mereka. Menurutnya, rentetan deskripsi peristiwa sejarah yang kita temui di kitab sirah hanyalah salvation history dalam penyajiannya. Peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab sejarah Islam tidak lebih hanyalah gambaran segala macam kebaikan dengan menapikkan keburukan yang menurutnya bisa saja terjadi. 

Lebih lanjut beliau berkomentar bahwasanya catatan sejarah yang ditulis Ibnu Katsir, Ibnu Hisyam bahkan Ibnu Jarir at-Thabari tidak dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah karena ditulis jauh setelah peristiwa yang mereka jabarkan terjadi. Alasan tersebut dibuktikan dengan menunjukkan narasi bahwasanya Ibnu Ishaq sebagai penulis kitab sejarah pertama di dunia Islam menulis kitabnya ratusan tahun setelah Nabi Saw. wafat. Keotentikan sejarah menurut para sarjana barat (dan Mun'im Sirry tentunya) seharusnya ditulis (ditulis, bukan melalui periwayatan verbal) minimal sezaman dengan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Apabila tidak ditemukan dokumen sejarah dari pihak terkait (sahabat atau tabiin contohnya) maka harus dicari sumber-sumber luar yang sezaman dengan peristiwa yang akan dikaji. Harapannya, akan ada penjelasan tentang peristiwa tersebut walau hanya sedikit.

Munim Sirry tampaknya tidak setuju dengan penerapan pola pikir Edward Said pada tahun-tahun sekarang. Sebab Edward mendasari pemikirannya dengan mengajukan premis bahwa barat ingin merekonstruksi keilmuan timur dengan niatan untuk menguasai timur. Tidak heran memang, sebab timur lebih dalam dikaji oleh akademisi barat saat masa kolonialisme berlangsung. Faktanya sekarang menurut Mun’im, sarjana barat tidak lagi memiliki keinginan layaknya sarjana barat masa kolonialisme, namun hanya ingin mencari kebenaran objektif yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Sarjana timur dan barat tidak lagi saling menjatuhkan satu sama lain karena alasan superioritas budaya, namun lebih saling bekerja sama dalam mencari ilmu.

Yang menjadi pertanyaan, apakah Mun’im Sirry tidak mempertimbangkan asumsi selanjutnya yang diajukan oleh Edward?, Mungkin keinginan untuk menguasai timur sudah tidak ada, namun teori yang mereka kemukakan itu sudah menjadi kanon tersendiri dalam metode keilmuan.

Narasi sederhananya seperti ini “(1)buku tentang rekonstruksi pemikiran timur telah ditulis sejak zaman kolonialisme bahkan sebelum itu oleh barat niat mereka ingin menguasai dan merekonstruksi timur, (2) buku yang ditulis tersebut secara terus menerus dikutip oleh sarjana-sarjana setelah mereka walaupun tidak memiliki niatan untuk menguasai timur (3) akibatnya tidak dapat diketahui mana pemikiran yang murni bersifat objektif mana yang tidak, sebab sarjana-sarjana barat menggunakan sumber yang sama meskipun tidak memiliki niat yang sama”. Analogi seperti ini seharusnya Mun’im Sirry telah pikirkan, toh beliau mengutip orientalism dalam bukunya. Namun barangkali sengaja ia tidak tuliskan untuk menguatkan pendapatnya.

Apa Harus Dipaksakan?

Sungguh terlalu jauh kapasitas penulis apabila dibandingkan dengan Mun'im Sirry, namun apa yang dikatakan Edward Said dalam lingkup perkara ini lebih dapat diterima daripada apa yang disampaikan oleh Mun'im Sirry. bahwasanya tidak perlu dipaksakan metode barat untuk merekonstruksi segala hal yang ada di timur termasuk metode penggalian sejarah. Mungkin budaya barat dapat dilacak dengan metode barat, namun akan sulit untuk melacak budaya timur dengan metode barat. Sebaliknya, budaya timur dapat dilacak dengan metode timur, namun akan sulit melacak budaya barat dengan penggunaan metode timur. Jika demikian mengapa harus dipaksakan?
Previous Post Next Post

Contact Form