Jalan berbatu, Identitas tak jadi, siapalah aku


Oleh: Siti Mumayyizah

Untuk pembaca yang budiman,,,,,,,,,,,,,

Ini bukan hanya sekedar karangan atau kekecewaan atas apa yang terjadi dalam cerita, kupikir ini rangkaian dari berbagai kata yang tak sempat di ucapkan oleh orang-orang desa pada semua yang memiliki kewajiban atas nama jabatan, memiliki relasi sebagai pemegang kekuasaan atau apalah itu namanya. Untuk kalimat pembuka semoga pembaca dan penulis senantiasa di berikan kesehatan oleh Allah SWT. Karena pada tahun 2020, kita dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. kini mulai timbul berbagai penyakit-penyakit yang makin sulit untuk diberikan penawarnya. Biarlah itu menjadi urusan mereka yang memiliki kewajiban. Pekan ini mungkin semua sistem mulai sibuk menata kembali segalanya, mulai dari sistem birokrasi pertanian, pendidikan, perekonomian, dsb. Ahhh, sudahlah kalimat pembuka ini kita sudahi saja agar tak terlalu banyak kata berberbelit seperti hutang negara yang kian melilit tali leher rakyat.

Pada dasarnya kita makhluk Tuhan yang diberikan akal pikiran melebihi makhluk lain. Yang benar akan pintar jika hendak belajar, begitupun sebaliknya, akan bodoh jika tidak mau. Tapi apa daya kita yang hanya rakyat kecil pembelajaran terbatas, air terbatas, makanan terbatas, aliran listrik terbatas. Dari sini kita dapat melihat bahwa masih banyak hal yang tidak dapat digapai oleh tagan-tangan para pemimpin.

Setiap negara memiliki sistem kenegaraan tertentu begitupun Indonesia yang sistem kenegaraan tersebut menjadi urat nadi. setiap negara menjadi saluran darah bagi keberlangsungan bangsa dan negara, sedang masyarakat menjadi tulang penopangnya. Sistem politik yang sehat dan sejahtera tertumpu pada harapan yang besar dari suatu bangsa dan negara untuk bekal kehidupan. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek ideologi, politik ekonomi, sosial, budaya, dan hukum. Tumbuh dan berkembangnya aspek-aspek tersebut ditunjukkan untuk memberi nilai tambahan bagi masukan sistem politik negara dalam mengisi dan membangun infrastruktur dan suprastruktur politik yang merupakan prasyarat dan syarat bagi terwujudnya tujuan nasional Indonesia sebagaimana termaktub dalam muqaddimah undang-undang Dasar 1945 alenia IV.

Jalan berbatu…

Aku melintasi jalan yang setiap harinya kulewati bersama Bapak. Hening, namun tidak dengan jalanan itu, karena memang menjadi jalur penghubung dalam berbagai sektor antara pedesaan dan perkotaan. Jalanan begitu riuh dengan suara klakson mobil, truk, sepeda motor, dan bus. Ditambah lagi dengan jalan yang makin hari makin berlubang sana-sini, semakin menambah keramaian yang terjadi. Belum lagi jika musim penghujan datang, tiap-tiap bolongan jalan terisi penuh air yang makin memperburuk keadaan. Dengan rasa ingin tahu, aku mengajukan pertanyaan pada Bapak “Pak kenapa jalanan ini tidak di perbaiki?” Bapak menjawab degan sedikit tersenyum “itu tugas pemerintah nak....” aku menganggukan kepala tanpa mengerti artinya. Lalu kutanyakan kembali “loh pak, pemerintah bagian apa yang mengurusi jalanan berlubang seperi ini?” bapak menggelengkan kepala kemudian berkata “tidak tau nak”, akupun kembali bertanya “apa pemerintahan tidak memiliki dana untuk pembetulan jalan kita ini pak?” Bapak kembali menggelengkan kepala. Kemudian aku terdiam tak bertanya lagi. Aku memahami ia hanya lulusan SD yang tak tahu menahu tentang itu yang bahkan ijazahnya pun telah habis dimakan rayap. Namun rasa ingin tahuku begitu besar dengan berbagai pertanyaan yang mulai memenuhi pikiran, seperti siapa sajakah yang memegang pemerintahan itu? jika jalanan ini ingin di bangun hendak kepada siapa aku menyampaikannya? RT kah? RW? mengapa tidak ada yang menghiraukan jalanan tak layak pakai ini? mungkin dalam pikiran mereka ini sudah menjadi tugas pemerintah seperti yang Bapak bilang.

Segala pertanyaan itu berkecamuk tanpa tau hendak kepada siapa aku menyuarakannya. Keesokan harinya, kutanyakan pada guru PKN ku yang kemudian dijawab “itu tugas direktorat sarana transportasi jalan” kuajukan kembali pertanyaanku pada bapak kemarin “apakah pemerintahan tidak punya dana untuk membangun jalan ini bu?” guruku tertawa terbahak-bahak atas pertanyaanku, dengan wajah bingung aku kembali menyimak jawaban Guruku kala itu, kemudian beliau menjawab dengan sedikit berkelakar “Pemerintah itu teramat kaya nak,,, Indonesia ini sangat kaya, kaya sumberdaya alam, seperti minyak, kopi, rempah-rempah dsb. Oh iya jangan lupakan kenyataan bahwa pemerintahan kita juga kaya hutang, hutang yang ibu atau kamu pun tak dapat menghitung berapa jumlah angka nol di belakangnya. Setelah itu, aku terdiam pamit undur diri. Waktu pun berlalu terenggut masa. Memang begitu bukan? bukankah terkadang segala pertanyaan tidak dapat terjawab kala itu juga?.

Identitas tak jadi….

Menginjak umur ke-17 tahun setiap warga negara diwajibkan memiliki identitas berupa KTP (kartu tanda penduduk). Lagi-lagi Bapak yang datang kepada ‘’klebun’’ (pak RT/RW) begitu akrab panggilannya, Bapak tanyakan apa saja yang dibutuhkan kemudian diberi surat pengantar olehnya untuk menuju ke- kecamatan untuk membuat KTP. Siang itu, di kantor begitu sepi dengan bangunan yang tak terawat, sampah berceceran bagai bangunan tak layak huni. Kala itu pikiranku hanya perihal bangunan tersebut, ke mana petugas kecamatannya? apakah ada orang di dalam? hingga kemudian aku dan Bapak bertemu satu orang, sepertinya petugas kecamatan entahlah beliau tidak mengenakan seragam layaknya petugas kecamatan. Aku bersama Bapak memasuki ruangan dalam gedung tersebut. Kemudian ditanyakan apa keperluan kami yang langsung dijawab oleh Bapak untuk membuat KTP. Petugaspun mengambil selembar kertas dan satu amplop. menyuruh kita mengisi kertas tersebut, mengumpulkan akta kelahiran, kartu keluarga, melakukan foto, tanda tangan, terakhir aku bersama Bapak diberikan satu amplop. Petugas itu berkata “Pak mohon di isi amplop ini untuk kas dan supaya pembuatan KTP nya jadi lancar minimal dua puluh ribu”. Kemudian Bapak mengisi amplop tersebut tiga puluh ribu tanpa bertanya apa-apa. Setelah mengisi petugas kembali berkata “Terimakasih pak, nanti kalau KTP nya sudah jadi bapak dikenakan biaya sebesar lima puluh ribu”, Bapakku hanya berkata “iya” kemudian mengangguk. Kupikir itu sebuah kesalahan karena saat temanku mengurus KTP dia bilang tidak ada pembayaran sama sekali (gratis). Ku tanyakan pada petugas karena memang aku benar-benar tidak tau “Loh pak, apa pembuatan KTP itu dipungut biaya?” petugasnya menjawab “iya nak...” lalu ku tanyakan kembali “Bukankah pembuatan KTP itu tidak dikenakan biaya? pak petugas”, “Siapa yang bilang seperti itu?” timpal petugas. Ku jawab kembali “teman saya mengurus KTP di Surabaya tidak dikenakan biaya sama sekali pak!” petugas tertawa “Itu di kota nak… semua sarana dan prasarana sudah ditanggung oleh Bu Risma” aku bertanya kembali “loh Bupati kita memang tidak bisa menanggung biaya pembuatan KTP?” petugas kemudian menjawab kembali dengan wajah geram seperti hendak memakan mangsa sembari menjawab “Saya hanya mengikuti atasan” aku dan Bapak menganggukan kepala tanda mengerti kemudian pulang tidak lupa berjabat tangan dan mengucapkan salam.

Tiga bulan kemudian Bapak mendapat kabar bahwa server kecamatan bermasalah, dan kami harus mengurus KTP kembali di kabupaten langsung. Tanpa pikir panjang aku dan Bapak mendatangi tempat pembuatan KTP serta membawa semua yang diperlukan untuk membuat KTP. Sesampainya di sana, segala proses pembuatan KTP tampak sama seperti yang dimiliki kecamatan, hanya saja di sana kami tidak disuruh untuk mengisi amplop seperti yang di kecamatan. Setelah proses aku lalui seperti foto, pengisian data dsb, Bapak memberikan uang tiga puluh ribu kepada petugas yang kemudian langsung ditolak oleh petugas tersebut “Maaf pak pembuatan KTP ini tidak dipungut biaya sama sekali, Bapak silahkan baca tulisan di papan pengumuman itu’’ sembari menunjuk papan yang bertuliskan: Pembuatan KTP Tidak Dipungut Biaya.

Menurut pasal 63 undang-undang penduduk warga negara Indonesia dan warga asing yang memiliki izin tinggal tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas tahun) atau telah kawin atau tetap kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP Elektronik (KTP-el) KTP bagaimana dimaksud berlaku secara nasional. Adapun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 24 Desember 2013 telah menandatangani dan mengesahkan berlakunya undang-undang nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan. Dalam UU ini ditegaskan, bahwa pemerintah melalui menteri dalam negeri (mendagri) berkewajiban menyediakan blanko KTP melalui instansi pelaksanaan yaitu pemerintah kabupaten atau kota bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam urusan Adminduk. Setelah membaca spanduk besar itu aku bersama Bapak izin undur diri tak lupa mengucapkan Terimakasih kepada petugas cantik nan baik kala itu. Tiga bulan kemudian kita kembali ke- Kabupaten untuk mengambil KTP yang sudah jadi tanpa ada pembayaran sepeserpun seperti yang telah dijelaskan.

Organisasi yang menjalankan sistem birokrasi biasanya memiliki prosedur dan aturan yang ketat sehingga dalam proses oprasionalnya cenderung kurang fleksibel dan kurang efisien. meskipun ada anggapan bahwa birokrasi identik dengan efisiensi, pemborosan, dan kemalasan. Faktanya sistem birokrasi diperlukan agar proses operasional berjalan sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Seperti yang telah dikatakan oleh Max Weber, ahli politik dan sosiologi asal jerman mengatakan bahwa birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang penerapannya berhubungan dengan tujuan yang hendak dicapai. Birokrasi ini dimaksudkan sebagai suatu sistem otoritas yang ditetapkan secara rasional oleh berbagai macam peraturan untuk mengorganisir pekerjaan yang dilakukan oleh banyak orang. Sistem politik Indonesia dewasa ini sangat mengkhawatirkan, yang memang telah banyak dimanfaatkan oleh berbagai oknum pemegang pemerintahan (Kekuasaan). Dari kenyataan tersebut, maka dapat dilihat berbagai ketimpangan yang terjadi di masyarakat dalam berbagai sektor kehidupan.

Akibat dari politisasi berbagai kelompok elite politik yang jauh dari kata profesionalisme dalam mengendalikan pemerintahan, maka lagi-lagi rakyatlah yang menjadi samaknya, sengsara, tidak dapat menutup kemungkinan sistem pemerintahan akan terus-menerus berubah setiap dekadenya hal ini terbentuk dari imbas partai politik itu sendiri. Siapapun yang berkuasa, dari partai apapun beliau, sistem politik Indonesia seharusnya tetap sama selama hal itu masih bisa dipakai. Dengan demikian sistem politik indonesia tidaklah menjadi hal penghambat dalam menentukan suatu kebijakan. Apabila sistem politik Indonesia telah stabil maka pembangunan akan terwujud dengan sempurna.

( Prof. Dr. H. Asep Kartiwa, Drs., Sh., M.S – Guru besar Universitas Padjajaran Bandung )
Buku : Sistem Politik Indonesia
Previous Post Next Post

Contact Form