Hukum Orang Hadats Menyentuh Tafsir atau Terjemah Al-Qur’an


Oleh: Khairul Atfal

Dalam Agama Islam, al-Qur’an mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, karena al-Qur’an merupakan firman Allah dan sebuah sumber hukum normatif yang menjadi sandaran utama dalam penetapan hukum syari’at. Selain itu, al-Qur’an juga merupakan wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad tanpa ada keraguan di dalamnya.

Al-Qur’an yang merupakan firman Allah, tidak bisa digunakan sembarangan. Ada beberapa hukum yang menjadi kewajiban mutlak bagi orang-orang yang ingin memegang dan menyentuhnya. Hukum di sini tentunya hanya berlaku pada orang yang sedang hadats, baik hadats kecil maupun besar.

Dalam perkembangan zaman, al-Qur’an yang berciri khas bahasa Arab menjadikan orang-orang non-Arab sedikit kesulitan untuk memahami kata dan makna yang terkandung di dalamnya. Ketidaktahuan mereka didominasi oleh faktor kurangnya pengetahuan terhadap bahasa Arab, baik dari segi kosa kata maupun susunannya.

Eksistensi sebagian orang-orang yang paham bahasa Arab mencoba untuk mengungkap makna-makna yang terkandung di dalamnya dengan sebuah disiplin ilmu, yakni tafsir. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang menerjemahkan bahasa al-Qur’an ke bahasa daerah yang ditinggalnya.

Produk tafsir dan terjemah ini tentunya tidak akan sama seperti al-Qur’an yang memang murni firman Allah tanpa adanya campur tangan manusia. Ringkasnya, tafsir atau terjemahan merupakan hasil karya manusia untuk mengungkap makna-makna tersurat maupun tersirat dalam al-Qur’an.

Hukum tafsir dan hukum al-Qur’an mempunyai ketentuan masing-masing. Secara garis umum, jika statusnya masih al-Qur’an murni, maka orang yang berhadats kecil ataupun besar, menyentuh dan memegangnya itu haram. Tetapi dalam tafsir, para ulama-ulama fikih mengklasifikasikan tafsir yang hukumnya seperti al-Qur’an, dan ada juga tafsir yang hukumnya sama seperti kitab-kitab biasa.

Terjemahan al-Qur’an atau tafsir dengan menggunakan metode terpisah seperti yang tersebar di penjuru daerah, jika mengacu pada pendapat Imam Nawawi dalam Nihayah az-Zain yang mengatakan bahwa terjemahan yang ada di bawah al-Qur’an tidak dihukumi tafsir. Tetapi masih ditetapkan sebagai mushaf yang haram disentuh dan dibawa. Tentunya orang yang sedang hadats tidak boleh menyentuh dan memegang al-Qur’an (Nihayah az-Zain,1316:33).

Imam ad-Dimyathi dalam I’anah al-Thalibin menjelaskan kutipan yang diambil dari Hasyiyah al-Kurdi, mushaf tidak dikategorikan tafsir, meskipun pinggir, sisi dan di antara garisnya dipenuhi dengan penjelasan tafsir. Karena mushaf tersebut tidak disebut dengan tafsir, bahkan namanya masih tetap mushaf (I’anah al-Thalibin,1998:82).

Berbeda dengan cetakan tafsir atau terjemahan al-Qur’an yang dicampur dan lebih banyak dari ayat al-Qur’annya. Maka, hukum menyentuh dan membawanya ialah makruh. Karena untuk membaca ayat al-Qur’an cukup lumayan sulit. Contohnya seperti tafsir jalalain cetakan lokal yang metode penulisan tafsirnya dijadikan satu dengan ayat al-Qur’an (Bughyah al-Mustarsyidin,1994:42).

Jika mengacu pada dua pendapat yang dikemukakan dalam kitab Nihayah az-Zain dan Bughyah al-Mustarsyidin, kasus yang terjadi di sebagian besar pondok pesantren yang memperbolehkan santri putri untuk memegang al-Qur’an dengan alasan muraja’ah tetap saja tidak diperbolehkan. Karena rata-rata al-Qur’an yang mereka pakai adalah menggunakan al-Qur’an dengan terjemahan yang terpisah dari ayatnya.

Kesimpulannya, hukum menyentuh dan membawa tafsir atau terjemah al-Qur’an ada 2 hukum dengan 3 perincian. Pertama, boleh jika tafsir atau terjemah lebih banyak dan dicampur dengan ayat al-Qur’an. Kedua, tidak boleh jika tafsir atau terjemah lebih sedikit daripada ayat al-Qur’an. Ketiga, tidak boleh meskipun tafsir atau terjemahnya lebih banyak daripada ayat al-Qur’annya, jika penulisannya dipisah.

Referensi
Nihayah az-Zain
Bughyah al-Mustarsyidin
I’anah al-Thalibin
Previous Post Next Post

Contact Form