Oleh: Khairul Atfal
Haid atau sering juga disebut dengan menstruasi sudah menjadi kodrat dan ciri khas bagi seorang perempuan yang sudah mencapai batas umur baligh. Tidak ada perempuan yang tidak pernah haid, kecuali orang pilihan yang sudah menjadi keistimewaan khusus baginya. Perempuan itu hanyalah Sayyidah Fathimah Az Zahrah. Selain dari itu, semua perempuan pasti akan merasakan yang namanya haid.
Haid merupakan darah yang keluar dari farji perempuan dalam keadaan sehat dan bukan karena sebab melahirkan dalam waktu-waktu tertentu. Ayat al-Qur’an yang dipakai sebagai hukum asal haid adalah surat al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi:
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ
Sebab turunnya ayat ini ialah ketika istri-istri orang Yahudi dalam kondisi haid, suami mereka mengusirnya dari rumah, tidak sudi tinggal dengannya, apalagi mau makan bersama sampai haidnya selesai. Ayat tersebut turun untuk menghapus hukum yang diberlakukan oleh orang-orang Yahudi (Kitab Rawai’ al-Bayan, 1980:294). Salah satu sahabat nabi bertanya tentang ayat tersebut, lalu Nabi menjawab:
اصنعوا كل شيء الا النكاح
Haid juga bukan hanya terjadi kepada seorang perempuan saja, melainkan ada juga beberapa hewan yang bisa haid. Al-Jahidz dalam kitabnya al-Hayawan menyebutkan beberapa hewan yang haid yaitu perempuan, kelinci, hyena, kelelawar, kemudian dikumpulkan dan dijadikan syair oleh sebagian ulama (Al-Bujairomi ‘ala al-Khatib, 1996:503):
أرانب يحضن والنساء * ضبع وخفاش لها دواء
Yang menjadi pembahasan dalam hukum fikih adalah perempuan saja. Karena hanya manusia yang dibebani dengan hukum taklifi, yakni hukum yang menjadi kewajiban mutlak bagi setiap orang baligh, baik itu dari golongan laki-laki atau dari perempuan.
Ketika perempuan haid, maka ada beberapa hukum yang tidak boleh dilakukan. Larangan di sini bukan berarti membatasi perempuan untuk melakukan ibadah kepada Allah, hanya saja untuk menghadap Yang Maha Suci, seseorang diharuskan berada dalam keadaan suci juga. Termasuk juga saat memegang al-Qur’an.
Memegang al-Qur’an saat perempuan dalam keadaan haid tidak diperboleh, bahkan dalam hukum fikih disebutkan dengan redaksi ويحرم, yang mempunyai arti haram. Jika bermakna haram, maka berlakulah hukum haram yang apabila dikerjakan akan mendapatkan dosa, jika ditinggalkan akan mendapatkan pahala.
Hukum memegang al-Qur’an sudah bukan menjadi pembahasan yang asing dilakalangan ulama-ulama fikih, baik dari fikih klasik sampai pada fikih yang bernuansa kontemporer. Tetapi masih saja ada segelintir orang yang tetap mengakatan bahwa “Tidak ada dalil yang melarang perempuan haid memegang al-Qur’an”. Pendapat-pendapat tersebut bisa ditemui dari orang-orang yang hanya bermanhaj pada al-Qur’an secara tekstual.
Dalam sumber ketetapan hukum yang dipakai tidak seharusnya hanya berpatokan pada al-Qur’an secara tekstual saja. Karena dalam ilmu ‘ulum al-Qur’an, adakalanya al-Qur’an tidak serta merta dimaknai secara kontekstual, melainkan ada beberapa kaidah yang harus dipakai dalam menafsirkan al-Qur’an, jangan hanya menggunakan satu metode saja. Salah satu ayat yang digunakan sebagai dalil larangan perempuan haid menyentuh al-Qur’an adalah:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Dalam penafsiran ayat ini terjadi beberapa perbedaan pendapat dalam kata الْمُطَهَّرُونَ. Anas dan Sa’id bin Jubair memaknai kata tersebut dengan malaikat, karena malaikat suci dan terbebas dari dosa. Abu Aliyah dan Ibnu Zaid memaknai bahwa yang dimaksud di situ bukan hanya malaikat saja, tetapi juga rasul-rasul dari keturunan Adam yang suci dari dosa.
Syamsuddin al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Qurthubi juga menafsirkan bahwa ada sebagian pendapat yang mengatakan kitab di situ adalah kitab yang ada di lauh al-mahfudz, yang tidak boleh disentuh kecuali oleh malaikat-malaikat yang suci. Namun, yang lebih dipilih oleh al-Qurthubi ialah mushaf yang berada ditangan kita (Tafsir al-Qurthubi, 1964:225).
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya Tafsir Ibnu Katsir juga memberikan tafsiran yang hampir sama dengan penafsiran Imam al-Qurthubi. Ibnu Katsir menyebutkan salah satu pendapat yang dimaksud di situ ialah orang yang suci dari junub maupun hadats. Mayoritas ulama berhujjah dengan pendapat Imam Malik dalam kitab Muwattha’ yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Bakar bahwa surat yang ditulis oleh Rasulullah kepada ‘Amr bin Hazam bertuliskan أَلَّا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ (Tafsir Ibnu Katsir, 1999:545).
Kata الْمُطَهَّرُونَ mempunyai dua makna. Pertama, jika dhamir yang ada pada kata لَا يَمَسُّهُ kembali pada al-Qur’an yang ada di lauh al-mahfudz, maka kata الْمُطَهَّرُونَ mempunyai arti malaikat. Kedua, jika dhamirnya kembali pada al-Qur’an yang sudah menjadi mushaf, maka akan mempunyai makna orang yang suci dari hadats kecil ataupun hadats besar. Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata الْمُطَهَّرُونَ bermakna suci dari kesyirikan, sehingga mempunya arti bahwa al-Qur’an tidak boleh digunakan kecuali oleh orang-orang yang suci dari kesyirikan (Tafsir Ayat al-Ahkam, 2002:720).
Jika dalam pembahasan fikih menggunakan teks menyentuh al-Qur’an, maka tidak diragukan lagi bahwa memegang al-Qur’an lebih haram daripada menyentuh. Imam Taqiyuddin dalam kitabnya Kifayah al-Akhyar menjelaskan (Kifayah al-Akhyar:66):
فَإِذا حرم على الْمُحدث فالجنب أولى وَإِذا حرم الْمس فالحمل أولى بِالتَّحْرِيمِ
Artinya “Ketika diharamkan bagi orang yang berhadats, maka orang junub lebih utama. Apabila menyentuh diharamkan, maka membawa keharamannya lebih utama”.
Jadi perihal ayat tersebut, jika ditinjau dari sudut pandang fikih merupakan ayat yang digunakan sebagai hujjah larangan perempuan haid memegang al-Qur’an, baik itu al-Qur’an nya langsung atau kulit yang menempel pada al-Qu’ran yang sudah terpisah, tetapi masih ada sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya.
Referensi
Rawai’ al-Bayan, karya Syekh Ali as-Shobuni
Tafsir Ayat al-Ahkam, karya Muhammad Ali al-Sayis
Tafsir Ibnu Katsir, karya Imam Ibnu Katsir
Tafsir al-Qurthubi, karya Imam al-Qurthubi
Al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, karya Dr. Wahbah al-Zuhaili
Al-Bujairomi ‘ala al-Khatib, karya Sulaiman bin Muhammad bin Umar al-Bujairimi
Kifayah al-Akhyar, karya Imam Taqiyuddin