Oleh: Hayatullah Hilmi Aziz
Ayolah... kritis itu boleh, gak ada yang melarang kok! Tapi mengkritisi semua hal yang ada di dunia, itu sangat bodoh. Kamu nggak perlu nanya kenapa huruf “a”, “k”, “u” ketika disusun maka di baca “aku”. Kamu juga gak perlu repot-repot bertanya kenapa sapi disebut sapi?, ayam dinamakan ayam?, kucing dipanggil kucing?.. ahhh sudahlah itu mustahil nemu jawabannya. Pertanyaan-pertanyaan ini, dulu menjadi benalu bagi Kaconk..
Waktu itu, dalam forum kelas saat pelajaran ilmu mantiq, debat ngeyel pun tak terhentikan. Si Kaconk dihantam sautan pedas bertubi-tubi akibat pertanyaan sepele itu, “ihh pertanyaan gak jelas” sahut sosok cewek yang duduk tepat depan Kaconk sambil noleh dengan tatapan sinis. Suara-suara cemoohan bergemuruh melebur jadi satu dalam satu waktu di kelas itu, “Apaan sih”, “pertanyaan tolol”, “tidur aja”, “iya gak jelas banget”. Bu dosen pun hanya memberikan gelak tawa bernada merendahkan pertanyaan itu.
Namun bagi Kaconk yang baru belajar kritis, pertanyaan semacam ini sangat mengganggu pikirannya. Baginya, pertanyaan seperti ini sangat butuh jawaban yang logis, bagaimana tidak? pertanyaan sesederhana itu berlalu lalang dalam kehidupan sehari-hari.
Sama halnya beli air mineral ke warung-warung “bang!, beli air putih!”, ini ungkapan yang sangat sederhana. Tapi si Kaconk mikir “kok bisa air putih ya? Kok bukannya air bening? Kan warnanya bening?, terus yang ngomong air putih pertama kali itu siapa? Kok ngada-ngada sih”. Sekali lagi, Kaconk adalah pemikir kritis kemarin sore.
Saat baru kuliah, si Kaconk diajak ngopi seniornya, pergilah dia ke salah satu warkop. Tiba di sana, seniornya tidak pesan kopi, tapi malah memesan es teh, “Loh! Katanya ngopi? Kok pesen es teh?” celoteh Kaconk. Si senior pun tidak memberikan jawaban yang rasional dan hanya meresponnya dengan senyuman manis. Bagi senior, celotehan Kaconk hanyalah pertanyaan amatir mahasiswa baru yang baru belajar kritis.
Kembali ke cerita perdebatan di kelas, selang gemuruh cemoohan itu, rupanya ada wanita berparas manis memberikan jawaban yang logis “kenapa ayam dikatakan ayam, sapi disebut sapi?, itu adalah sebutan yang telah disepakati bersama tanpa adanya pertentangan”, mendengar jawaban itu, si Kaconk mengangguk-anggukkan kepala sembari mencerna maksudnya. Tak lama dari itu, Kaconk nyeloteh kembali “Hemz.. yang namanya kesepakatan bersama itu berarti jelas alasannya apa?, masak sepakat tanpa tahu alasan logisnya? kan lucu?” timpal Kaconk dengan gaya sombongnya. Maklumlah, namanya juga baru kritis kemarin sore, sok lagak pintarnya tinggi.
Mendengar tanggapan Kaconk tadi, si cewek manis hanya terdiam tanpa sepatah katapun dengan rawut muka yang kesal. Hingga akhirnya, Bu dosen mulai memberikan tanggapan ilmiahnya.
Nah, kebetulan si Kaconk masuk jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir. Sebuah jurusan sakral dengan peminat yang sedikit karena orientasinya lebih tinggi ukhrawi dari pada duniawinya. Begitulah perkembangan zaman, mencari yang realistis sekaligus materialistis adalah tujuan utama. Namanya juga jurusan tafsir, kebanyakan mahasiswanya penghafal Alquran dan patuh dengan kebiasaan yang ada. Mahasiswa seperti Kaconk ini satu banding sepuluh di sana.
Bu dosen memberikan dalil langsung dari Alquran surat al-Baqarah ayat 31, “wa ‘allama adama al-asma’a kullaha, dalil ini sudah jelas bahwa nama-nama apapun itu di dunia ini diajarkan langsung oleh Allah kepada Nabi Adam” jawab Bu dosen. Tapi sekali lagi Kaconk membantah dalil itu “Bu, ayat itu kan ceritanya Nabi Adam masih di surga, kira-kira kucing sudah ada apa belum di situ? Nah, terus nama jembatan Suramadu itu memangnya Nabi Adam sudah tahu itu?, Kan baru dibuat?”, Setelah bantahan itu, tak terasa waktu matakuliah sudah habis bahkan melebihi 10 menit, dan berakhirlah sudah perdebatan itu tanpa jawaban yang memuaskan untuk si Kaconk.
Waktu telah berlalu, si Kaconk sudah semester 5, semua pertanyaan bodohnya itu akhirnya dia sadari sendiri bahwa tidak semua di dunia ini harus dijawab dengan rasional dan sedetail mungkin. Dalam dunia semiotika, konsep dari Ferdinand De Sausure mungkin dapat menjawab pertanyaan tentang kenapa sapi disebut sapi?, kasus seperti ini biasa dikenal dengan istilah “arbitrer” di mana makna pada sesuatu tidak berkaitan sama sekali dengan sesuatu tersebut. Ada juga sesuatu itu sendiri memiliki kaitan dengan maknanya seperti “bom” disebut bom karena memiliki kaitan bunyinya jika meledak, hal semacam ini dinamakan “onomatopeia” dalam ilmu semiotika.
Tak hanya itu, dalam bukunya Fauz Noor “Berpikir Seperti Nabi” mengutip pendapat Loren Bagus bahwa menjadi orang rasionalisme itu mustahil karena kamu akan buang-buang waktu, lebih baik menjadi orang yang rasionalitas saja, karena rasionalitas tetap menerima kesepakatan bersama itu.
Jadi pada intinya, si Kaconk membuang banyak waktu mempermasalahkan hal demikian, karena hingga kini dan sampaikan kapanpun itu tidak mungkin dijawab secara sempurna dengan akal. Artinya ada batasan akal dan pengetahuan yang tidak bisa dijangkau. Maka benar apa yang dikatakan Alquran bahwa manusia diberikan pengetahuan hanya sedikit saja “wa maa utiitum min al-‘ilm illaa qaliilaa”.
Referensi
1. Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi: Perjalanan Menurut Kepasrahan (Yogyakarta: Pustaka Sastra Lkis, 2019), 18-21
2. Fajriannoor Fanani, “Semiotika Strukturalisme Saussure”, Jurnal The Mesenger, Vol. 5, No. 1 (Januari 2013), 11 dan 13.