Oleh: Abdul Aziz Ali Fikri
Malam datang tanpa permisi, semakin larut dalam suasana sepi. Sendari tak nampak batang hidung berlalu-lalang, hanya suara jangkrik dan burung hantu yang masih terjaga. Gubuk di samping musholla itu seakan turut tenggelam dalam asyik pembicaraan. Keempat lelaki didalamnya sama menatap, sebelum kemudian ketiga lelaki yang lebih muda kembali menundukkan pandangan sembari merangkai kata sehalus semilir angin di kedinginan malam.
"Nok opo ko mrini, kok sampek gowo-gowo beras barang, nok opo. Ki mang aku isek tas teko tekan acara ndek Bojonegoro. Ganti sarung, trus longgoh-longgoh eh nok seng matur nek onok tamu"
"Nyuwun angungipun pengapunten Yai, sepindah ndalem kre rencang-rencang niat silaturahim, nomer kale ndalem kle rencang-rencang bade konsultasi beberapa hal".
Mulut belum kering merangkai, kini lelaki berumur dua puluh tahun itu mendesah. Berbulan-bulan ia menanti ini, berbagai wirid yang ia dapat di pesantren ia gunakan untuk memabasahi ruang vokalnya sebab akhir-akhir ini dilema selalu menyapanya. Semakin hari buku yang ia baca semakin berat, semakin beragam pula keilmuan pembahasannya, namun semakin itu pula ia dicela oleh teman-temannya, ia bertanya-tanya seperti inikah rasa curiga memenuhi segala jengkal kehidupan.
Rasa ketidakpercayaan bahwa ia termasuk gagal membawa kesan "penghafal Al-Qur'an" dalam bingkai diskusi panjang dan bersinggungan. Laki-laki itu, hendak meneruskan bangunan katanya dengan sedikit memberi rasa penyelasan. Dalam hati dan pikirannya, ia teringat betul dulu di gubuk ini ia tidak diperkenankan untuk melangkah ke jalan yang ia tempuh saat ini, sedikit ingatan dibawah alam sadar, semakin tampak jelas rasa penyelasan.
"Ngeten Yai, ndalem kale rencang-rencang niki sakmangke sampun kuliah, tapi ndalem kale rencang-rencang niki kaget Yai. Amargi ndalem kale rencang-rencang niki seringkali ketemu kale rencang-rencang alumni beragam almamater, dan ndalem kale rencang-rencang selalu di hujat keranten hanya saget hafal Qur'an tpi dreng saget menguasai fan keilmuan yang berat-berat."
"Terus? Sampean mau apa? Ya sudah terima aja hujatannya. Kenyataannya memang begitu kan?"
Sembari bingung dengan jawaban sang kyai, dia balik bertanya "Ngapunten Yai, pripun maksudnya?"
Lelaki muda itu tidak percaya dengan jawaban si lelaki tua, ia mengejutkan asumsinya yang sedari awal sama dengan pikiran manusia kebanyakan. Dalam hati lelaki muda menghela nafas panjang, sedangkan lelaki tua menyodorkan pandang filosofis kepada lelaki yang jauh lebih muda di depannya.
"Tak omongi ya, menurutmu kenapa muridnya Yaqin akeh seng laris manis d konkon imam nndi-ndi, po mneh pas posoan, lpo o?".
"Mboten mengertos Yai, mungkin karena hafalan"
"Lantas?"
Lelaki tua menghela nafas.
"Ingat ga? Arek-arek kitab mondok sakmnu suwene trus podo laris e gak kyok arek Tahfidh?"
"Mboten Yai" Lelaki muda menyahut.
"Hafalan alquran, adalah keterampilan sedangkan mondok e arek kitab iku keilmuan. Pinter rooo secara spesifik, memang harus diakui untuk pendalaman kitab kita kalah. Karena hafalan Alquran itu keterampilan, kalau pembelajaran kitab itu kepintaran. Artinya tidak apa-apa kita diremehkan oleh mereka yang telah lama mengaji kitab, selama kita ini tetap mau belajar dan menerima segala hal apa yang salah. Wong Qur'an e yho wes jelas.. فبشر عباد الذين يستمعون القول. Qaul, yawes qaul apa saja."
"Nggeeih Yai" Lelaki muda itu kemudian baru paham sedari awal apa maksud pembicaraan.
"Mondok kitab iku 10 tahun lagek diceluk ustad, nek mondok Quran 2 tahun saja nanti kamu sudah menjadi yai.. Nndi-ndi diundang, tanganmu disungkemi karo sakmnu akeh e wong".
"hfft" bisik-bisik para lelaki muda, menahan gelagat tawa, karena ia kembali diingatkan tentang anehnya dunia.
"Tapi saya jijik melihat mereka yang gupuh di-Yaikan". Kali ini lelaki tua, terlihat sangat serius, nada pembicaraannya ia tinggikan, tempo dan ritmenya ia lambatkan, artikulasinya ia perjelas seolah-olah ia tak percaya ramalan gurunya yang lama ia takuti kala ia masih tinggal di kamar pondoknya terjadi.
Keheningan terjadi sejenak, gubuk itu seolah-olah berubah viewnya menjadi Gedung Mahkamah Konstitusi setelah hakim menyatakan vonis.
"Wes sakki tak iming-imingi" Lelaki tua itu mencoba mencairkan suasana kembali.
"Bagi saya Qur'an itu gaada seng mutarodif, sakki jajal isok ga إذا جاء نصر الله diganti إذا أتى نصر الله isok ga?"
"Haa??" Reflek ucapan dari lelaki yang lebih muda.
"Ekhem-ekhem" sembari tersenyum seolah-olah menahan tawa lelaki tua itu membuka penjelasan.
"Nek جاء iku seng d pkek nk Qur'an mek Fiil madli,. Nek أتى seluruh tasrifan d pkek. Jajal Iling-iling-e lak nok e جاء nek gk جاءت جاءو utowo bentuk majhul e ووضع الكتاب وجيء بالنبيين. Nek أتى semua nya dipakek, يؤتى الحكمة من يشاء. Nok, أتي الرحمان dst. Jadi g iso d ubah-ubah".
"Enggeh Yai" lelaki muda itu semuanya terkesima melihat jelinya dan bersihnya hati lelaki tua itu yang tidak lain adalah gurunya sendiri, lelaki muda itu kemudian bergumam dalam hatinya "tidak mungkin jika hatinya tidak bersih bisa melihat seteliti itu".
"Sek-sek, tak iming-imingi mneh, nok kan ادرى kro يدري. Nek sing pertama kalean pengeran mesti dijawab, nek seng Kedua ora".
"Ohh, ngge Yai ndalem baru sadar".
"Yho kan, وما ادرىك ماليلة القدر iku lak nok terusanne, nek siji e وما يدريك لعل الساعة تكون قريبا. Pie, lak g nok terusanne".
"Enggeh Yai" lelaki muda itu tersenyum-senyum, ternyata selama ini mereka ia tidak menyadarinya.
Alangkah pembicaraan malam itu menjadi semacam jam istirahat bagi mereka. Dalam hati sang lelaki muda, ia mulai menemukan titik sirna. Asumsi dasar dan seluruh persepsi yang melekat di dirinya, nampaknya cuma sekedar ruang tanpa waktu jika lupa buat sadar.
Rasanya ia perlu berhenti, sekalipun hanya melihat lalu lalang orang-orang berjalan, atau melihat gerak tubuh para pengejar jabatan, atau melihat segala raut wajah dan ekspresi para pengejar pangkat dan kedudukan yang datang ke rumahnya.
Ia perlu berhenti, untuk kembali menyadari betapa ia lebih mengingat pertemuan-pertemuan dengan gadis berkerudung tulangan daripada ragam ilmu yang ia dapat di bangku kuliah.
Ia perlu sadar bahwa selama ini ia lebih banyak berdiskusi tentang drama Korea yang terjadi di kalangan teman-temannya daripada ia berdiskusi tentang keunikan dan variabel Alquran, juga ia perlu mengingat betapa naifnya ia ketika membaca buku-buku keilmuannya, ia lebih khawatir segala pekerjaan rumahnya daripada mengingat Tuhan.
"Wes pokok pintero, ngajiio smpek pada taraf ilmu-ilmu lanjutan kyok mang.. Gausah bingung ga nduwe konco, malah ga usa kakean konco iling-ilngenياويلتى ليتني لم أتخذ فلانا خليلا, nkok ae nek ws ngalim konco-konco mu lak bakal teko dewe. Wong kapan hari aku d konkon ngisi ceramah enk ngarepe Yai Marzuki Mustamar, panitia kebacut mosok aku dikonkon ceramah nek ngarepe beliau, tapi setidak e iku iso d gwe kalkulasi pertemanan."
Lelaki tua itu kembali mempertegas pandangannya, akan tetapi kali ini dengan suara lembutnya ia bertutur kata.
"Jok Nganggur gak isin ta karo pemulung? Cek iso mangan ae mulung, ngusruk-ngrusk’i sampah-sampah. Nek, pean kabeh kepingin ngalim yho tholabo seng nggenah."
"Oh ngge Yai, terkahir ngapunten sakderenge bade tangled radi aneh. Njenengan nate sedih nopo galau kados ketika tasek enem rien kados kita-kita sakmangke, keranten dunia tidak memihak ten kita?".
"Saya ta?" Sahut lelaki tua yang seolah-olah ia tidak percaya apakah pemuda zaman sekarang terlampau lemah riwayat hidupnya.
"Ngge Yai, ngapunten"
"Kalo saya ga pernah!". Jawaban tegas yang membuat lelaki muda kembali bingung sendiri.
"Ya gak pernah lah saya, wong ada Tuhan kok!, sedih tidak, bertengkar iya, kecewa iya, tapi semuanya itu tidak sampai membuat saya paling merasa tertekan. Tidak, saya selalu menggunakan jasa Tuhan, sebab saya yakin itu semua hanya sebuah masalah dan akan berlalu, sekarang besar mana sih dunia dan hatimu?"
Kalimat itu bak tsunami yang menghantam hati si lelaki muda, sepandai itukah dirinya betapa teramat lancang merasa paling tertekan dalam hidupnya. Tidakkah sosok yang bersusah payah mendedikasikan hidupnya demi kemaslahatan umat, bahkan sampai di hari tuanya ia masih merapal segenap doa dengan tulus dan ikhlas. Dan kita?. Masih saja menyibukkan diri dengan perasaan yang tak lebih adalah kemalasan kita.
Suasana kembali hening, kali ini suara jangkrik kembali terdengar jelas. Si lelaki tua memohon maaf untuk undur diri, sebelum akhirnya para lelaki muda memintanya untuk memimpin doa terlebih dahulu.
Mereka semua tertunduk, dan bermata nanar sembari kemudian mereka saling berjabat tangan khas tradisi santri kepada gurunya. Para lelaki muda kemudian berjalan menunduk tanpa membelakangi lelaki tua tersebut.
Tepat di ujung pintu, lelaki tua pergi berjalan ke dalam menyusuri keindahan gubuk miliknya. Para lelaki muda kemudian kembali ke tempatnya, sembari merebahkan badan mereka semua tersenyum. Tak terasa air mata mengalir di sela-sela matanya yang tajam.