Bisakah Filsafat Mengatasi Dekadensi Kesehatan Mental?


Oleh: Mu'awinati Isna Zilfia

Makin tenang seseorang, makin besar kesuksesannya, pengaruhnya, kekuatannya untuk kebaikan. Ketenangan pikiran adalah salah satu permata kebijaksanaan yang indah.

Kutipan diatas diambil dari salah satu Filsuf Inggris yaitu James Allen. Kutipan tersebut mempertegas bahwa ketenangan pikiran adalah kunci dari kehidupan. Dari ketenangan tersebut akan menyebarkan kekuatan-kekuatan positif disetiap hal yang dilakukan, sehingga akan berdampak besar didalam kehidupan. Salah satu contohnya, yaitu kesuksesan dari individu tersebut.

Faktor yang mempengaruhi dekadensi kesehatan mental adalah kultur dimana seseorang tersebut tinggal. Apa yang boleh dilakukan dalam suatu budaya tertentu, bisa saja menjadi hal yang aneh dan tidak normal dalam budaya lain, dan demikian pula sebaliknya. Federasi Kesehatan Mental Dunia (World Federation for Mental Health) mendefiniskan kesehatan mental yaitu kondisi yang memungkinkan adanya perkembangan yang optimal baik secara fisik, intelektual dan emosional, sepanjang hal itu sesuai dengan keadaan orang lain. Jadi kesehatan mental itu gak hanya perlu dukungan dari diri sendiri tetapi juga perlu dukungan dari masyarakat.

Dekadensi kesehatan mental di Indonesia masih menjadi persoalan yang sangat serius. Dilihat dari hasil penelitian yang disampaikan oleh Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dr. Eka Viora, Sp. KJ, terdapat sekitar 15,6 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental berupa depresi dan 19 juta penduduk Indonesia yang mengalami gangguan mental berupa emosional.

Mengatasi dekadensi kesehatan mental di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Tirto.id melansir jumlah rumah sakit jiwa di Indonesia hanya terdapat 48 tempat. Selain itu, pandangan negatif dari masyarakat perihal gangguan mental masih menjadi suatu hal yang menakutkan. Namun hal ini dapat diatasi melalui aspek kecilnya, yaitu mulai mengatur kesehatan mental dari diri sendiri. Bagaimana caranya yaitu dengan Filsafat.

Banyak orang yang berasumsi bahwa filsafat itu sulit, filsafat itu tidak ada gunanya, filsafat itu kebanyakan teori, membosankan dan omong kosong. Asumsi-asumsi tersebut masih tersebar luas di masyarakat sehingga banyak orang yang melihat filsafat hanya dengan sebelah mata saja. Salah satu tujuan artikel ini yaitu menegaskan bahwa asumsi-asumsi tersebut itu salah.

Filsafat yang di maksud adalah filsafat Stoikisme atau filsafat Stoa, sebuah mazhab filsafat Yunani Kuno yang praktis dan relevan menjadi titik acuan tindakan bagi manusia kontemporer. Aliran filsafat ini didirikan oleh seorang filsuf yaitu Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM di Athena, Yunani. Pembahasan filsafat Stoa melingkupi logika (retorika dan dialektika), fisika, dan etika (teologi dan politik).

Pandangan Filsafat Stoikisme tentang etika, yaitu bagaimana manusia memilih sikap hidup dengan menekankan apatheia, yaitu kondisi ketika manusia menjauhkan diri dari emosi-emosi negatif melalui beberapa laku tindakan. Karena seperti yang dijelaskan oleh para filsuf Stoa, bahagia adalah ataraxia, yang bersinonim dengan frasa not troubled (untroubled, undisturbed) atau bebasnya diri dari penderitaan, nafsu, hingga emosi negatif.

Term stoik kalau dalam bahasa inggris dari kata stoic yang berarti keteguhan mental dalam situasi, kondisi dan keadaan apapun. Seseorang yang stoik merupakan orang yang sabar dan berpikiran jernih saat menghadapi persoalan. Karena didalam mazhab stoik, ajaranya menitikberatkan pada pentingnya kesehatan mental saat senang maupun susah.

Filsafat stoikisme mengungkapkan ada tiga cara bagaimana bisa menjaga kesehatan mental, yaitu:

a) Epiktetus dalam bukunya, Enchiridion mengajak setiap individu untuk memahami bahwa ada beberapa hal yang bergantung dengan setiap individu dan beberapa lainnya di luar kendali individu atau bisa disebut dikotomi kendali.

Hal yang bergantung terhadap setiap individu hanyalah pemikirannya. Pemikiran yang nantinya berkembang menjadi pertimbangan, keinginan, tujuan dan tindakan kita sendiri. Selebihnya, seperti tindakan orang lain, opini orang lain dan hal-hal yang tak berasal dari pikiran individu tersebut, bukanlah hal yang bergantung pada dirinya. Jika ada sesuatu yang salah, hanya satu yang bisa dilakukan: membenahi pemikiran setiap individu dan menatanya kembali selaras dengan prinsip dikotomi kendali.

Mencemaskan sesuatu yang bukan dari kendali diri sendiri adalah hal yang sia-sia. Ketidaksadaran masyarakat perihal dikotomi kendali inilah yang membuat gangguan psikosomatis penyakit fisik yang diakibatkan oleh pikiran menjadi hal yang banyak ditemui. Kunci menuju bahagia ala filsafat Stoa yang pertama ialah jangan mencemaskan apa pun selain pikiran kita, yaitu kendali kita.

b) Kedua, mengendalikan presepsi dan interpretasi. Seperti yang diutarakan Henry Manampiring dalam Filosofi Teras: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini, bahwa filsafat Stoa memisahkan antara apa yang bisa ditangkap oleh indra (impression) dengan interpretasi atau tafsiran atas apa yang dialami indra kita (representation).

Pada faktanya, setiap peristiwa bersifat netral, namun menjadi bercitra "positif" atau "negatif" karena hasil interpretasi yang kita ciptakan. Sering kali situasi yang dihadapi menjadi keruh bukan karena realita peristiwa tersebut, namun karena interpretasi yang diciptakan. Karena pada dasarnya semua emosi dipicu oleh opini, penilaian dan presepsi dari setiap individu.

Keduanya saling berhubungan dan jika terapat emosi negatif, jelas sumbernya adalah nalar atau rasio dari mereka sendiri. Ketika paradigma diarahkan untuk realistis dan positif, emosi-emosi negatif bisa dikesampingkan.

Jika dihadapkan pada situasi yang menuntut untuk marah atau bersedih, cukup beri waktu bagi otak untuk merespon dengan mengendalikan presepsi dan interpretasi. Karena bagaimana pun, selalu ada sisi negatif yang harus disingkirkan dari presepsi manusia karena sifat desruktifnya.

c) Ketiga seperti yang Schopenhauer katakan dalam Kecocokam Hidup, mengetahui bahwa segala yang berada di dunia ini bersifat tidak mutlak. Bahwa suatu hal yang bernilai bagi seseorang, belum tentu sama bernilainya bagi setiap individu. Hal ini disebabkan karena posisi materi atau hal-perihal tersebut netral (relatif).

Aspek ini kembali berakhir kepada dikotomi kendali dan presepsi kita akan hal-perihal atau materi tersebut. Karena ketiga langkah-langkah inilah yang berkesinambungan mewujudkan kebahagiaan hal yang bebas dari gangguan duniawi menuju kebahagiaan atau dalam bahasa Yunani yaitu Eudaimonia.

Banyak sejarah yang mencatat bahwa mayoritas orang terpengaruh filsafat stoikisme. Karena filsafat ini cocok bagi siapa pun dan mudah dipahami karena konsepnya yang disukai banyak orang. Dibuktikan dengan sejarah modern menjadi saksi betapa tangguhnya mental James Stockdale, pilot tempur Angkatan Laut Amerika Serikat yang ditahan di sel bawah tanah dan disiksa fisik juga mentalnya selama tujuh tahun di Hanoi saat perang Vietnam meletus. Saat ditanya apa resepnya untuk menghadapi masa-masa sulit tersebut, Stockdale dengan mudah menjawab, "filsafat Stoikisme" yang ia pelajari dari Epiktetus melalui kuliah yang ia ambil saat mengambil studi di Universitas Stanford.

Kesehatan mental itu perlu karena untuk menuju kehidupan yang bahagia (eudomania). Sebelum hal buruk terjadi, bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?
Previous Post Next Post

Contact Form