“Khilafah” Kini Tinggal Nama


Oleh: Naufa Izzul Ummam

Ide untuk menerapkan kembali sistem ‘khilafah’ baru-baru ini kembali diisukan oleh sebagian muslim di Indonesia. Ideologi yang diusung oleh beberapa organisasi Islam seperti HTI dan DII tersebut saat ini kembali eksis di bawah organisasi Khilafatul Muslimin (KM). Abdul Qadir Husein Baraja, selaku khalifah dari KM ditangkap oleh pihak kepolisian. Tulisan ini akan coba menguraikan fenomena kekhalifahan Islam yang dibawa oleh beberapa organisasi tersebut.

Semangat kembali menerapkan sistem ‘khilafah’ oleh sebagian kalangan muslim bukan tanpa sebab. Keinginan kuat tersebut dilatar belakangi oleh perasaan ingin mendapatkan Kembali kejayaan Islam sebagaima yang telah dituai oleh umat Islam di masa lalu. Baldatun tayyibatun wa rabbun ghafur demikian akhir yang mereka cita-citakan dari penerapan sistem ‘khilafah’ yang mereka usung. Mereka beranggapan bahwa kesejahteraan Islam hanya akan didapat bilamana umat Islam sepakat untuk kembali menerapkan sistem kekhalifahan dengan penerapan syariat yang utuh. Mereka juga beranggapan bahwa ideologi lain selain ‘khilafah’ yang mereka usung tidak akan bisa mengembalikan kejayaan Islam, lebih parahnya lagi mereka menyebutnya thagut.

Namun yang menjadi pertanyaan, kekhilafahan seperti apa yang mereka inginkan? Apakah sistem yang diterapkan oleh khulafa’ al-rasyidin? Atau sistem kekhilafahan sebagaimana yang dianut oleh dinasti setelah khulafa’ al-rasyidin? Sebab dua periode tersebut menampilkan konsep dan wajah kekhilafahan yang berbeda. khulafa’ al-rasyidin dengan sistem demokrasi (musyawarah) dan imperium setelahnya dengan sistem monarki.

Lantas sistem negara bagaimana yang mereka inginkan? Atau mungkin mereka hanya ingin mengganti nama pemimpin jadi khalifah, terserah mau sistem demokrasi atau kerajaan, yang penting nama negaranya kekhilafahan dan pemimpinnya diberi gelar khalifah. Begitu? Ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh.

Demokrasi Terpimpin Dan Demokrasi Pancasila

Jika hal tersebut yang ingin dilakukan oleh para pengusung khilafah, apa bedanya mereka dengan sistem pemerintahan yang sudah ada? Indonesia sebelum reformasi pernah menerapkan tiga model demokrasi. Demokrasi liberal, Demokrasi terpimpin ala orde lama, dan demokrasi Pancasila usungan rezim orde baru. Mungkin jika dilihat dari cita-citanya, masyarakat dapat beranggapan bahwa kedua demokrasi yang pernah digagas tersebut sangatlah positif. Namun, jika dilihat dari kacamata yang lebih dalam dan luas, dua gagasan tersebut ternyata tidak lebih dari hanya sekedar alat politik yang digunakan untuk meraih atau melanggengkan kekuasaan.

Soekarno mengusung demokrasi terpimpin sebagai antitesis dari demokrasi liberal yang sebelumnya digunakan bangsa Indonesia, menurutnya demokrasi liberal tidak cocok dengan jati diri bangsa Indonesia. Masih menurut Soekarno, penerapan demokrasi Liberal di Indonesia hanya akan membawa malapetaka, oleh karenanya ia menawarkan gagasan ‘demokrasi terpimpin’. Demokrasi terpimpin diharapkan berjalan dengan prinsip kekeluargaan dan mendasarkan sistem pemerintahannya pada prinsip musyawarah dengan dipimpin oleh seorang yang lebih tua dan dihormati agar dapat membimbing dan mengayomi masyarakat.

Namun realitanya, berbeda teori berbeda pula apa yang dipraktikkan. Cacat dari praktik demokrasi terpimpin dapat terlihat dari berbagai peristiwa yang terjadi pada zaman tersebut. Dikatakan bahwa hanya ada satu pemilu di zaman Orla yang dilai fair, para petinggi dari partai masyumi dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Terlebih lagi, Nasakom (nasionalisme-agamis-komunisme) yang di kemudian hari digagas oleh Soekarno menjadi pemegang kekuasaan tak terbatas. Hatta kemudian mengomentari hal tersebut dengan mengungkapkan “Soekarno telah mengubur Pancasila yang digalinya sendiri”.

Kemudian beralih ke zaman orba, Soeharto yang tidak setuju dengan konsep demokrasi terpimpin ala Soekarno kemudian mengusung gagasan demokrasi Pancasila. Menurut Soeharto, demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang bersumber pada proses musyawarah sesuai dengan sila ke empat. Demokrasi ini dengan tegas menolak segala bentuk kediktatoran, baik perorangan, kelas, golongan maupun militer. Namun tetap saja beda konsep, beda pula praktik.

Menolak segala bentuk kediktatoran yang diungkapkan di awal tadi hanya kata manis belaka. Dalam hal ini perlu diketahui bahwasanya DPR dan MPR hanya dapat menjabat setelah melakukan proses penyeleksian ketat dari rezim orde baru. Memang telah ada pemilu legislatif, namun dalam prosesnya, terlalu banyak ditemukan kecurangan yang hanya menguntungkan satu pihak. Pihak lain seperti PPP dan PDI hanya menjadi pemanis persaingan politik saja.

Setelahnya MPR sebagaimana Amanah dari UUD 1945 berhak mewakili rakyat untuk memilih presiden. Dengan adanya teks aturan “Presiden dapat dipilih kembali apabila rakyat menghendakinya” maka MPR yang menjabat berkat penyeleksian ketat sebelumnya dapat dengan mudah mengangkat Soeharto, bahkan sampai enam periode. Sangat jauh dari konsep awal demokrasi pancasila yang digagasnya sendiri, sekali lagi lain teori lain pula praktiknya.

Kekhalifahan, Islami Sepenuhnya?

Kembali kepada pembahasan kekhalifahan. Apa yang di cita-citakan oleh beberapa umat muslim dengan membentuk kekhilafahan mungkin dapat dikatakan sebagai utopia semata. Adalah benar saat sejarah mencatatkan Islam sangat maju dan berkembang pada saat dimana pemerintahan Islam dinamai dengan “kekhalifahan” dan pemimpin yang berkuasa diberi gelar “khalifah”. Namun bukan berarti masa-masa tersebut selalu tentram dan terhindar dari segala bentuk kecacatan. Agaknya mereka lupa atau memang sengaja tidak ingin menceritakan bahwa ada kisah kelam saat kekhilafan masih eksis? Berikut beberapa data yang bisa dipaparkan.

Pertama, tipu daya dan muslihat. Berdirinya dinasti Umayyah tidak lepas dari proses arbitrase yang terjadi antara pihak Umayyah pimpinan Muawiyah dan pihak Ali ra. Sejarah mencatat bahwa Muawiyah tidak ingin mengangkat Ali ra. sebagai khalifah sebelum membalas darah kematian sepupunya Utsman ra. Dari kacamata hukum dan agama, sah-sah saja Muawiyah menuntut darah kerabatnya. Namun dalam kacamata politik, alasan ketidaksetujuan ini perlu dilihat lebih seksama, terlebih Muawiyah berasal dari bani Abd Syam yang selalu bersaing dengan bani Hasyim untuk mendapat kekuasaan di Mekkah.

Patut dipertanyakan juga, bagaimana mungkin Muawiyah yang saat itu hanya menjabat sebagai gubernur Syam disetarakan statusnya dengan Ali ra. yang berposisi sebagai khalifah pada saat peristiwa arbitrase. Sebenarnya apapun hasil keputusan dari arbitrase ini Muawiyah tetap mendapat keuntungan sebab kesamaan posisi dan kedudukannya dengan Ali Ra. Inilah taktik politik jitu dari seorang pendiri Kekhalifahan Umayyah, dan hasilnya seperti yang kita ketahui, sangat menguntungkan pihak Muawiyah. Amr bin Ash sebagai delegasi dari pihak Muawiyah memutuskan “Saya menurutkan Ali sebagai Khalifah namun tidak dengan Muawiyah” kalimat yang kemudian membawa Islam ke dalam berbagai perbedaan pendapat.

Belum lagi ketika Muawiyah membawa berita bohong kepada publik saat dia memberitakan bahwasanya para sahabat di Madinah telah membaiat Yazid sebagai penggantinya. Masyarakat lantas percaya dan menyetujui pengangkatan Yazid sebagai “Pangeran” pengganti bilamana Muawiyah meninggal. Padahal sahabat seperti Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas dengan tegas menolak permintaan Muawiyah yang ingin mengangkat Yazid menjadi khalifah. Namun begitulah, jika tidak membawa berita kebohongan kepada publik, mungkin kekuasaan bani Umayyah akan hancur berbarengan dengan kematian Muawiyah.

Kedua, perang dan pertumpahan darah. Bunuh membunuh antar raja sebenarnya merupakan suatu hal yang lumrah di kalangan mereka. Pangeran mahkota membunuh raja yang berkuasa, atau adik membunuh kakaknya demi mendapat kekuasaan banyak sekali ditemukan apabila mempelajari sejarah dari kerajaan-kerajaan yang berkuasa di masa lampau. Islam kemudian datang dan memperingati bahwasanya pembunuhan merupakan hal keji yang harus dihindari kecuali pada saat-saat tertentu. Namun seiring berjalannya waktu hal tersebut selalu dilakukan, bahkan oleh khalifah sebagai pemegang kekuasaan daulah Islami.

Sang Penjagal, demikian gelar yang disematkan kepada khalifah pertama kekhalifahan Abbasiyah. Mungkin kudetanya melawan bani Umayyah dapat dibenarkan, namun melihat perbuatannya yang membasmi semua keturunan Umayyah menjadi hal yang sangat tabu, apalagi dengan statusnya yang menyandang gelar pemimpin umat Islam. Perbuatannya yang lebih menjijikkan lagi adalah ia membongkar makam-makam penguasa kekhalifahan Umayyah terdahulu kecuali Umar bin Abdul Aziz. Apabila ditemukan masih jenazah, mayat itu akan disalib dan dipertontonkan kepada masyarakat luas. Barangkali hal tersebut ia lakukan untuk meligitamasi kekuasaan dan membuat takut lawan politiknya, namun tetap saja semua sepakat bahwa hal tersebut merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan.

Kasus pembunuhan dengan alasan akan legitimasi kekuasaan juga dilakukan oleh khalifah al-Mansur. Takut akan posisinya tidak lebih besar dibanding dengan Abu Muslim al-Khurasani, al-Mansur nekat melakukan pembunuhan pada Abu Muslim padahal Abu Muslim merupakan partisipan utama dan salah satu ‘timses’ dari berdirinya kekhilafahan Abbasiyah. Al-Mansur kemudian membunuh Abu Muslim dengan siasat mengundang Abu Muslim dalam jamuan makan.

Kasus serupa juga dilakukan oleh al-Makmun, khalifah cinta ilmu pengetahuan yang membawa Islam menjadi peradaban maju penguasa dunia dalam sisi keilmuan. Selain cinta ilmu al-Makmun juga sangat cinta akan kekuasaan. Setelah ar-Rasyid meninggal, rencananya kekuasaan diturunkan kepada al-Amin dan kemudian kepada al-Makmun. Namun al-Amin menyeleweng dari wasiat tersebut dengan mengganti calon penggantinya kelak. Hal ini membakar amarah al-Makmun dan terjadilah perang antara keduanya. Hasil akhir dari perang tersebut adalah al-Amin meninggal ditangan pasukan al-Makmun dan naiklah al-Makmun ke tahta kerajaan.

Ketiga, suka sesama jenis. Ingatkah kita bagaimana masyarakat Indonesia marah saat Deddy Corbuzier mengunggah sebuah podcast yang mengundang pasangan homo? Saya yakin diantara banyak masyarakat yang marah tersebut partisipan kekhalifahan juga termasuk didalamnya. Tidak menjadi masalah memang, sebab Islam sangat melarang fenomena tersebut. Namun ingatkah mereka bahwa salah seorang khalifah yang memerintah memiliki ketertarikan kepada budak laki-laki?

Al-Watsiq salah satu dari deretan khalifah yang memerintah saat peradaban Islam mencapai masa keemasannya. Beliau memiliki seorang budak laki-laki lemah gemulai yang bernama Muhaj. Dikatakan bahwasanya beliau sangat menyukai Muhaj dan apabila terjadi permasalah antara beliau dan Muhaj, hal tersebut akn membuatnya galau bahkan terbawa sampai ke sidang kenegaraan. Demikian yang disampaikan Gus Nadir dalam bukunya Islam Yes Khilafah No. Tidak ditemukan catatan sejarah yang menghukum al-Watsiq atas perilakunya, padahal saat itu kekhalifahan menerapkan sistem Islami. Tapi mengapa al-Watsiq tidak dihukum sebagaimana kitab fiqh menuliskan dengan jelas hukuman bagi orang homo?

Cuma Tinggal Nama

Mungkin mereka akan berkata “yang kami inginkan sebagaimana yang ada pada zaman khulafa ar-Rasyidin”. Taukah mereka bahwa kulafa ar-Rasyidin terkait dengan keputusan menentukan pemimpin dan pembuat kebijakan juga didasarkan pada demokrasi? Hal yang saat ini digunakan oleh Indonesia untuk mencapai cita-cita kemajuan bangsa. Mungkin sekarang terdapat kecacatan disana sini. Namun demokrasi merupakan suatu hal yang dinamis dan dapat disesuaikan dengan berbagai situasi zaman. Atau mungkin mereka akan tersenyum apabila nama negara diganti, daulah/kekhalifahan Indonesia dan presiden diganti dengan sebutan khalifah? hanya berbeda dari segi penamaan namun tetap berjalan dalam koridor demokrasi, sebab kulafa ar-Rasyidin juga seperti itu. Hanya mereka yang tahu.

Terkait dengan hukum yang diterapkan, mereka mungkin akan berpendapat bahwa hukum kekhalifahan Islam berdasarkan pada teks Alquran dan al-Hadist. Namun bagaimana dengan kisah dari al-Watsiq? Mengapa hukum dilemparkan dari tempat tinggi atau rajam tidak diterapkan kepada al-Watsiq? Dimana hukum Islam yang katanya terjamin penerapannya di bawah panji kekhalifahan? Atau dimana hukum Islam saat al-Mansur dan al-Makmun membunuh lawan politik mereka? Bukannya darah dibalas dengan darah? Oh mungkin mereka dimaafkan keluarga korban, jawaban tersebut sepertinya salah. Yang tepat menurut saya oh ya karena mereka penguasa.

Demikian beberapa contoh kami paparkan kecacatan yang terjadi saat kekhalifahan Islam memegang panji kekuasaan. Memang benar islam berjaya tidak lepas dari pengaruh dan kebijakan yang mereka berikan. Namun bukan berarti pemerintahan Islam tidak memiliki bentuk kecacatan dan kesalahan. Pertanyaan mendasar terhadap utopia partisipan kekhalifahan yang membayangkan bahwa negara akan Makmur dibawah panji keislaman dijawab oleh bukti sejarah yang ditulis oleh para ahli. Mungkin memang benar kemasan nama dan konsep menarik seperti pada Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila terjadi pada sistem kekhalifahan. Padahal yang para pemimpin praktikkan berbeda dari apa yang mereka konsepsikan. Yaa Cuma nama aja.
Previous Post Next Post

Contact Form